Rabu, 27 April 2011

Regulasi Pemondokan Perlu dipertegas

http://jogjainfo.net/regulasi-pemondokan-perlu-dipertegas.html

DEPOK: Regulasi mengenai pemondokan (kos-kosan) di Kecamatan Depok perlu dipertegas. Jika tidak ada aturan yang tegas maka dikhawatirkan hal itu akan memberikan dampak yang negatif terutama masalah sosial kepada masyarakat setempat. Anggota DPRD Sleman Martono mengatakan, sebenarnya Sleman sudah memiliki peraturan daerah (perda) yang mengatur pemondokan yakni Perda No 9/2007.

Namun sayangnya perda inisiatif Dewan tersebut hingga saat ini belum ditindaklanjuti dengan penerbitan peraturan bupati (perbup). “Disitulah permasalahannya. Per da kan hanya mengatur hal-hal yang umum saja, sementara untuk teknis diatur dalam perbup. Tanpa ada perbup maka perda belum bisa diaplikasikan secara maksimal,” ungkap anggota DPRD dari Daerah Pemilihan (Dapil) III (Depok) kepada Harian Jogja, Jumat (12/3).

Martono melihat bahwa selama ini ada kecenderungan para pemilik pondokan hanya berpikir dari segi ekonomisnya saja namun tidak memperhatikan dampak negatif yang ditimbulkan. Tanpa adanya penataan yang serius, kata dia, permasalahan itu akhirnya akan bermuara pada kesemrawutan kependudukan di Kecamatan Depok. “Harus ada penataan yang serius dan benar-benar bisa ditaati karena dampaknya cukup dirasakan.

Sebagian pemilik pondokan cenderung cuek dengan aturan yang sudah ada dan cenderung hanya berpikir dari sisi ekonomis saja,” ungkap legislator PAN ini. Dari Perda No 9/2007 setidaknya ada tiga hal yang masih perlu ditindaklanjuti dengan juklak (petunjuk pelaksanaan) dan juknis (petunjuk teknis) oleh eksekutif yakni tentang standar fasilitas pemondokan, Sanksi bagi penyelenggara pemondokan yang telah memiliki izin dan sanksi bagi penyelenggara pemondokan yang tidak memiliki izin.

Martono mengatakan, keberadaan pemondokan memberikan pengaruh pada nilai-nilai sosial budaya bagi warga setempat karena menawarkan pola-pola hidup yang baru. Yang paling penting, kata dia, permasalahan soal kebebasan di pemondokan juga harus dipertegas. “Memang ada dampak positif yang ditimbulkan keberadaan koskosan, namun negatifnya pun tak kalah banyak. Keberadaannya memang memberikan peluang kepada warga, tapi juga harus dipikirkan mengenai efek sampingnya,” kata Martono.

Kasie Penegakan Perundang-undangan Kantor Satuan Polisi Pamong Projo (Satpol PP) Ignatius Sunarto mengatakan, Perda pemondokan tergolong sebagai Perda yang mengambang karena belum memiliki perbup. “Siapa yang ditunjuk untuk mengeluarkan izin dan instansi apa sebagai leading sector penindakannya belum jelas.

Karena itu kami masih ragu dalam melakukan penindakan secara tegas karena takutnya jadi bumerang bagi kami,” ungkap dia. Menurut Sunarto, seharusnya Perda tersebut ditindaklanjuti dengan aturan teknis untuk beberapa masalah seperti pembagian kos putra atau putri, jam bertamu, atau juga klasifikasi pemondokan. Tanpa adanya kejelasan, kata dia, Pol PP akan kesulitan.

“Paling selama ini yang disoroti hanya sebatas izin HO saja, sementara untuk teknis lainnya belum pernah ditegakkan. Kami berharap agar Bagian Hukum Setda Sleman segera menerbitkan perbup,” ungkap dia.(sig)

PERBUB SLEMAN BELUM OPTIMAL LINDUNGI PASAR TRADISIONAL

http://www.lepmida.com/news_irfan.php?id=38239&sub=news&page=
Jumat, 22 April 2011
Oleh: Febi

foto : bd-ant

(Berita Daerah - Jawa) - Peraturan Bupati Sleman Nomor 13 dan 45 Tahun 2010 tentang Pengaturan Toko Modern di Sleman dinilai belum berfungsi optimal dalam menjaga keberadaan toko kecil dan pasar tradisional.

"Harus ada peraturan daerah (perda) yang tegas mengatur keberadaan toko modern, dan lebih melindungi toko kecil serta pasar tradisional, dan tidak cukup hanya dengan peraturan bupati (perbub)," kata Sekretaris Komisi A DPRD Kabupaten Sleman Martono, di Sleman, Jumat.

Menurut dia, keberadaan toko kecil milik masyarakat serta pasar traditional selama ini menjadi simbol perekonomian kerakyatan.

"Oleh karena itu, dibutuhkan peraturan yang lebih kuat lagi, yakni semacam perda untuk toko modern. Jika pengaturan lemah, maka jangka waktu lima hingga 10 tahun mendatang akan ada masalah ekonomi kerakyatan," katanya.

Ia mengatakan pemilik toko modern juga diminta tidak melakukan rekayasa dalam pengajuan prosedur perizinan, khususnya perizinan persetujuan lingkungan.

"Pernah terjadi kasus, yakni ada pertemuan sosialisasi toko modern dengan warga, kemudian absensi kehadiran warga itu digunakan sebagai persetujuan lingkungan. Ini namanya rekayasa perizinan," katanya.

Martono mengatakan terkait munculnya sejumlah penolakan masyarakat terhadap pendirian toko modern diharapkan bisa menggugah Pemerintah Kabupaten Sleman untuk menyelesaikan masalah itu secara arif.

"Kami sudah meninjau rencana pendirian dua toko modern yang ditolak warga. Dari segi perbup, memang tidak sesuai aturan. Kalau dikembalikan ke peraturan, maka pasti langsung selesai," katanya.

Ia mengatakan kebutuhan perda tentang toko modern sangat mendesak, namun yang lebih penting ialah segala perizinan harus dilakukan sesuai prosedur.

"Kalau sesuai prosedur, maka silakan, tetapi jangan toko modern didirikan berdekatan dengan toko milik masyarakat dan pasar tradisional," katanya.

Pemda Sleman menerbitkan Perbup Nomor 13 Tahun 2010 tentang Penataan Lokasi Toko Modern dan Pusat Perbelanjaan, serta Perbup Nomor 45 Tahun 2010 tentang Perizinan Pusat Perbelanjaan dan Toko Modern.

Dalam perbup itu dijelaskan mengenai jarak minimal pendirian toko modern, yakni 500 meter dari toko tradisional, atau 1.000 meter dari pasar tradisional.

(fb/FB/bd-ant)

25 AGUSTUS HARI PERUMAHAN NASIONAL ; Reformasi Bidang Perumahan

http://www.kr.co.id/web/detail.php?sid=223439&actmenu=39

27/08/2010 04:52:05 Pencanangan tanggal 25 Agustus sebagai hari Perumahan Nasional dilaksanakan oleh Menpera dalam pidato menyambut hari Perumahan tahun 2009. Tanggal ini diambil dari momentum Pidato Bung Hatta pada Kongres Perumahan Sehat di Bandung, 25 Agustus 1950.
Jika dilihat dari potensi yang dimiliki oleh masing-masing komponen, pemerintah punya kewenangan membuat regulasi, swasta punya kekuatan dana, masyarakat punya kekuatan gotong-royong, dan fasilitator punya kekuatan membangun keterpaduan dan sinergitas antar komponen. Permasalahannya adalah, bagaimana kita dapat membangun sinergitas terhadap potensi yang ada tersebut.
Belajar dari pengalaman di lapangan, sesungguhnya peran serta masyarakat dalam pembangunan perumahan swasta sudah dilaksanakan. Hal ini dapat kita cermati dari berbagai program yang ada. Diawali pada sekitar tahun 1990 dengan Program Pembangunan Perumahan Bertumpu pada Kelompok (P2BPK) yang diluncurkan oleh Menteri Perumahan Rakyat Ir Akbar Tanjung. Masalah yang dihadapi pada waktu itu adalah, belum adanya sistem kelembagaan yang ada, jaringan belum dibangun, tidak ada program riil yang dipakai sebagai “centelan”, sehingga program tersebut tidak ada keberlanjutannya. Faktor penyebab yang lain adalah belum adanya pemberdayaan untuk fasilitator. Pada perkembangannya, oleh Menteri Perumahan dan Permukiman, Ibu Erna Witular, dibentuk program baru dengan nama program Co-Bild (Community Base for Initiative Local Development Program/Program Pembangunan Perumahan Berdasar pada Komunitas). Program ini dibentuk pada awal 2001, dan di launching pada Juni 2001 untuk 12 kabupaten dan 1 provinsi (DIY), namun dalam perjalanannya, sampai sekarang, tinggal Provinsi DIY yang masih eksis. Lagi-lagi salah satu faktor penyebabnya adalah kurangnya upaya pemberdayaan untuk fasilitatornya, walaupun jika dikaji lebih cermat banyak faktor yang berpengaruh.
Banyak pembelajaran yang dapat diambil dari “kebersihan dan/kegagalan” dari program ini, salah satunya adalah bahwa, keberhasilan program itu ditentukan oleh sistem aturan yang didukung oleh sistem kelembagaan yang terencana matang, sehingga sistem tersebut dapat menjamin kemudahan mekanisme teknis pelaksanaan, dan kemudahan mekanisme kontrolnya. Di samping itu sistem tersebut harus dikawal oleh sumber daya manusia yang andal.
Kekuatan yang dimiliki program Co-Bild DIY, salah satunya adalah obligasi moral dari person yang duduk di jajaran Presidium Paguyuban Warga Jogja (Pawarta), Dewan Perumahan Permukiman (DPP), dan Badan Pengelola Dana (BPD). Pawarta, berperan sebagai Payung Hukum Program Co-Bild, dan mengawasi kinerja DPP, tugas DPP menunjuk pelaksana, membuat kebijakan dan mengawasi program Co-Bild dan sebagai fasilitator bagi pihak ketiga, sedangkan BPD sebagai pengelola progran Co-Bild yang bersifat profesional.
Dari uraian di atas, sesungguhnya embrio terbentuknya fasilitator di tingkat provinsi sudah ada (baca: DPP), tinggal kemauan politik dari para stakeholders yang ada (baca: Pemerintah/ Dinas Perumahan Provinsi DIY, Perguruan Tinggi, Koperasi Perumahan, Lembaga Swadaya Masyarakat, Kelompok Swadaya Masyarakat), untuk duduk bersama membentuk atau memberdayakan fasilitator yang sudah ada, sehingga dari Yogya kita dorong terbentuknya DPP tingkat nasional. Setelah terbentuk DPP tingkat nasional, pekerjaan rumah selanjutnya adalah road show untuk pembentukan fasilitator (DPP) di masing-masing provinsi. Belajar dari lembaga lain (baca: Dewan Kerajinan Nasional, Dewan Kesenian, Dewan Kebudayaan dan lain-lain), semua didukung dengan payung hukum yang legal formal.
Strategi pembentukan Dewan Perumahan Permukiman yang akan berfungsi sebagai fasilitator di tingkat provinsi sampai nasional, perlu dibentuk forum perumahan (housing forum), yang akan membahas berbagai masalah yang dibutuhkan dalam pembentukan dewan ini, mulai dari aspek hukum, kelembagaan, aturan sampai teknis pelaksanaannya.
Kata kunci dari semua pembahasan ini adalah pemberdayaan untuk semua. Jika dan hanya jika ada komitmen yang dapat dibangun bersama untuk saling memberdayakan bagi seluruh stakeholders dan diimbangi dengan konsistensi terhadap komitmen tersebut, maka solusi masalah perumahan Indonesia bukan sesuatu yang mustahil, sebagai realisasi reformasi jilid dua dalam bidang perumahan. Insya Allah. q - c. (1541-2010).
*) Ir Noor Sasongko MSA,
Ketua Dewan Perumahan Permukiman
2005-2009, Ketua Badan Kehormatan
DPRD Sleman 2009-sekarang.

Minggu, 24 April 2011

Pengungsi Merapi Keberatan PMI Hentikan Pasokan Air

http://www.tempointeraktif.com/hg/kesra/2011/03/14/brk,20110314-319938,id.html

TEMPO Interaktif, Sleman - Warga korban erupsi Merapi menyatakan keberatan atas rencana Palang Merah Indonesia menghentikan dropping air ke warga pengungsi, Selasa pekan depan. Jika rencana tersebut direalisasikan kebutuhan air bersih di lereng Merapi terancam kesulitan.

“Kebutuhan air warga di lereng Merapi saat ini masih mengandalkan dropping air. Karena pasokan dari perusahaan air minum belum pasti kapan bisa mengalirkan air dari sumber di lereng Merapi karena kondisi alam,” kata Camat Pakem, Sleman, Budiharjo, Senin (14/3).


Saat ini banyak bantuan paralon dari orangisasi swasta maupun perorangan, namun belum bisa dilakukan penyambungan ke sumber air guna mencukupi kebutuhan warga. Sebab, kondisi jalur ke sumber air di Umbul Wadon atau Umbul Lanang masih kerap terkena banjir lahar dingin.

Selain warga yang berada di daerah terdampak erupsi Merapi, perhotelan dan penginapan di sekitar gunung itu juga masih membeli air. Harga air juga cukup tinggi, untuk satu tangki air berisi lima ribu liter, harganya mencapai Rp 100 ribu hingga Rp 120 ribu.


Rencananya, Palang Merah Indonesia akan menghentikan pasokan air ke para pengungsi dan warga di lereng Merapi pada 23 Maret 2011 mendatang. Dropping air akan dilanjutkan oleh pihak Dinas Pekerjaan Umum dan Pembangunan, dengan 8 truk tangki yang dipunyai. Namun diperkirakan jumlah itu belum mencukupi kebutuhan warga. Karena sebelumnya Palang Merah Indonesia mengirim 70 tangki setiap hari ke lokasi.


Menurut Urip Bahagia, Pelaksana Tugas Badan penanggulanan Bencana Daerah Kabupaten Sleman, masalah air bagi warga di lereng Merapi masih dalam pembahasan. Pihaknya berencana meminta perpanjangan dropping dari Palang Maerah Indonesia. Jika tidak berhasil, akan berkoordinasi dengan instansi terkait untuk menyediakan kebutuhan air bersih ini.

“ Kami akan mengupayakan ketersediaanya, baik untuk yang mengungsi, maupun yang tinggal di shelter dan sekitarnya,” kata Urip.

Jumlah warga lereng Merapi dan masih mengandalkan pasokan air lebih dari 20 ribu jiwa, tersebar di kecamatan Cangkringan, Pakem, Turi maupun Tempel.


Saat ini, sedikitnya 2.200 pengungsi Merapi masih berada di barak pengungsian. Terutama di di desa Kepuharjo sebanyak 2000 jiwa dan di desa Wukirsari sebanyak 200-an pengungsi.

Seluruh fraksi DPRD Sleman beberapa waktu lalu menyepakati Keberadaan Badan Penanggulangan Bencana Daerah kabupaten Sleman secara mandiri. Sebelumnya lembaga ini masih dikelola oleh Dinas Kesatuan Bangsa dan Perlindungan Masyarakat. Dengan terbentuknya badan itu pekerjaan penanganan bencana lebih optimal dan maksimal.

“Semua fraksi sependapat, Badan Penanggulangan Bencana Daerah berdiri sendiri, sebab kebutuhannya sangat mendesak,” kata Wakil Ketua DPRD Sleman, Rohman Agus Sukamto.

MUH SYAIFULLAH

Menanti Landasan Hukum Relokasi Warga Lereng Merapi

http://www.antaranews.com/news/254429/menanti-landasan-hukum-relokasi-warga-lereng-merapi#

Sabtu, 16 April 2011 06:31 WIB |

Yogyakarta (ANTARA News) - Bencana erupsi Gunung Merapi 2010 telah meluluhlantakkan lebih dari 31 dusun di lima desa di Kecamatan Cangkringan, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta.

Sebanyak 2.613 kepala keluarga (KK) kehilangan tempat tinggalnya, selain itu juga dampak sekunder berupa banjir lahar dingin telah mengakibatkan kerusakan 142 unit rumah warga dan kerusakan sarana dan prasarana lingkungan seperti jembatan, bendung, gorong-gorong, dan jalan desa.

Ribuan korban bencana erupsi Gunung Merapi tersebut saat ini sebagian besar telah menghuni "shelter" atau hunian sementara di masing-masing desa.

Berdasar data dari Disnakersos, tercatat sebanyak 2.290 "shelter" dari 2.613 hunian sementara yang telah disediakan sudah dihuni sedangkan pengungsi lain masih berada di barak pengungsian masing-masing.

Para korban bencana Merapi ini sampai saat ini masih menunggu kepastian terkait dengan rencana relokasi setelah tanah warisan leluhur mereka ini dinyatakan kawasan bahaya dan tidak boleh untuk hunian tetap.

Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta Sri Sultan Hamangku Buwono X mengatakan, masih menunggu keputusan pemerintah pusat terkait kebijakan rehabilitasi dan rekonstruksi daerah terdampak bencana meletusnya Gunung Merapi.

"Menunggu surat dari pusat untuk mengeluarkan surat keputusan guna mengatur tata ruang. Saya kan perlu hasil rapat keputusan ini sebagai dasar untuk mengeluarkan kebijakan, mana yang harus dikosongkan atau yang tidak dimungkinkan pemukiman harus relokasi," katanya usai rapat rekonstruksi dan rehabilitasi Merapi di Kantor Wakil Presiden, Jakarta, Jumat (15/4).

Surat keputusan pemerintah tersebut, menurut Sultan akan menjadi dasar hukum bagi Bupati Sleman, Yogyakarta, dalam menata kembali wilayahnya yang terkena dampak meletusnya Gunung Merapi.

"Yang penting kita punya kekuatan hukum supaya Bupati Sleman bisa mengeluarkan kebijakan karena berkaitan dengan rancangan tata ruang wilayah (RTRW)," katanya.

Sultan mengatakan, daerah yang terdampak sampai saat ini masih belum direkonstruksi. Para pengungsi yang direlokasi saat ini berada di hunian sementara yang didirikan pemerintah. Huntara tersebut rencananya akan dijadikan rumah permanen bagi mereka yang daerahnya terkena relokasi.

"Warga yang kehilangan rumah sekarang tinggal di huntara, kita bangunkan rumah di tempat yang sama. Belum ada rekonstruksi, baru huntara. Nanti kalo menjadi lokasi untuk rumah tetap, ya di situ secara bertahap dibangunkan rumah permanen," katanya.

Sultan menambahkan, untuk daerah-daerah yang berada di puncak merapi seperti Kinahrejo akan dikosongkan dan penduduknya di relokasi.

"Kinahrejo mungkin direlokasi karena tidak mungkin dihuni lagi, jadi harus kosong," katanya.

Sementara itu, pemerintah memperkirakan kebutuhan dana untuk rehabilitasi dan rekonstruksi untuk bencana merapi mencapai Rp1,35 triliun, untuk jangka waktu 2011-2013. Kebutuhan dana ini untuk membangun kembali lima sektor dan subsektor yang rusak.

Ke lima sektor itu adalah perumahan Rp247 miliar, infrastruktur Rp417,7 miliar, ekonomi Rp222,2 miliar, sosial Rp149.3 miliar dan lintas sektor Rp314,6 miliar.

Saat melakukan peninjauan di lokasi bencana erupsi di Dusun Kopeng, Desa Kepuharjo, Cangkringan (Rabu 13/4) Sultan menegaskan konsep kawasan rawan bencana dengan sistem radius tidak akan diterapkan lagi di lereng Gunung Merapi, Kabupaten Sleman. "Penentuan kawasan bahaya Merapi akan dibuat lebih tegas lagi," katanya.

Menurut dia, pembagian yang tegas tersebut meliputi, kawasan bahaya yang jelas tidak boleh untuk hunian warga, kawasan bahaya namun boleh dihuni dengan konsekuensi jika terjadi peningkatan aktivitas Merapi harus bersedia mengungsi.

"Selain itu kawasan yang memang benar-benar aman untuk hunian, jadi tidak lagi atas dasar radius yang ditarik garis lurus, tetapi atas dasar potensi ancaman bahaya di masing-masing wilayah, baik ancaman awan panas maupun lahar dingin. Saat ini pembahasan mengenai peta wilayah bahaya tersebut belum selesai digarap," katanya

Ia mengatakan, kawasan yang masuk dalam kategori bahaya dan tidak boleh ditinggali, harus ditaati oleh masyarakat.

"Namun untuk kawasan yang masih boleh ditinggali, harus ada ada komitmen dari warga lereng Merapi, jika ada himbauan dari pemerintah untuk mengungsi, maka harus dipatuhi juga. Ada toleran yang terpenting meminimalisir korban," katanya.


Jadi Hunian Tetap

Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Syamsul Maarif saat dialog dengan warga masyarakat Kepuharjo, Cangkringan Selasa (12/4) di balai pertemuan "shelter" (hunian sementara) Gondang I menyatakan dusun yang masuk kawasan bahaya wajib relokasi.

"Meskipun rancangannya belum sempurna, yang jelas lokasi relokasi tidak terlalu jauh dengan lokasi `shelter` yang saat ini ditempati masyarakat korban erupsi Merapi agar masyarakat tidak terlepas dari budaya asli," katanya.

Ia mengatakan, dimungkinkan lokasi "shelter" menjadi tempat relokasi juga hunian tetap, tetapi bentuk dan desain bangunan dirubah agar memenuhi kelayakan dan juga adanya penambahan fasilitas umum.

"Ditambahkan pula bahwa korban erupsi merapi harus diberi kepercayaan untuk mengatur dan menyelesaikan persoalan, tetapi harus tetap diberi pendampingan agar memenuhi standar kelayakan," katanya.

Disamping itu agar memenuhi kelayakan hunian tetap nanti fasilitas yang harus ada antara lain harus ada kandang ternak, jalan kampung yang memenuhi standar dan fasilitas umum lainnya termasuk ruang publik.

"Sedang untuk kawasan yang tidak untuk hunian akan dipertimbangkan statusnya antara lain bisa juga menjadi hutan lindung ataupun menjadi taman nasional. Dari pilihan tersebut semuanya mengandung konsekuensi masing-masing, tetapi harus bisa diakses masyarakat untuk peningkatan ekonomi masyarakat," katanya.


Selesai Akhir April

Pembangunan "shelter" atau hunian sementara untuk seluruh korban bencana erupsi Gunung Merapi di Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta dijadwalkan selesai pada akhir April 2011.

Plt Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Sleman Urip Bahagia mengatakan dari rencana 2.613 "shelter" yang dibangun telah selesai sekitar 94,6 persen.

"Ada beberapa kendala yang menjadi penghambat pembangunan `shelter`, yakni kebutuhan bambu untuk dinding, iklim ekstrem dan masih sering turun hujan deras hingga menghambat pekerjaan dan masalah penetapan tanah," katanya.

Ia mengatakan, untuk memenuhi kebutuhan bambu pihaknya harus mencari hingga Tasikmalaya, Jawa Barat dan Jawa Timur. "Ini salah satu penyebab pembangunan `shelter` sampai molor beberapa bulan," katanya.

Urip mengatakan, untuk penetapan lahan di Desa Glagaharjo hampir semua wilayah masuk dalam Kawasan Rawan Bencana (KRB) III, hingga tidak boleh untuk hunian warga.

"Namun akhirnya `shelter` kami bangun di daerah yang paling aman di Dusun Jetis Sumur dengan berbagai kesepakatan yang berisi komitemen warga untuk mau segera dievakuasi jika ada peningkatan aktivitas Gunung Merapi," katanya.

Ia mengatakan, untuk pembangunan "shelter" korban banjir lahar dingin ada 46 unit yang meliputi korban di Desa Argomulyo ada 36 rumah dan di Desa Sindumartani 10 buah.

"Rencananya `shelter` untuk korban banjir lahar dingin ini akan dibangun di Dusun Ketingan dan Kuwang, Desa Argomulyo. Untuk rumah warga lain yang terkena lahar dingin, setelah dibersihkan masih layak untuk ditinggali," katanya.

Lebih lanjut ia mengatakan, terkait wacana "shelter" yang merupakan tempat hunian sementara korban erupsi segera dijadikan tempat relokasi dan hunian tetap pihaknya belum bisa memastikan.

"Karena keterbatasan lahan yang statusnya masih tanah kas desa, maka rencana tersebut akan dipertimbangkan dan dikaji kembali. Belum pasti `shelter` jadi hunian tetap, namun memang ada wacana kearah tersebut," katanya.

Wakil Ketua DPRD Sleman Rohman Agus Sukamto menegaskan perlunya tata ruang yang bersifat elastis seta memperhatikan dimensi waktu.

"Prinsip kekerabatan dalam menempatkan dan penataan hunian baru juga harus diperhatikan agar hubungan sosial tetap terpelihara," katanya.

Koordinator Walhi DIY Suparlan mengatakan pemerintah harus mengedepankan rehabilitasi berbasis hak, dan bukan hanya menjadi bagian dari program semata.

"Kebutuhan pengungsi tidak hanya `shelter` tetapi meliputi juga masalah kesehatan, air, sanitasi dan pangan," katanya. (V001/Z002/K004)

Editor: B Kunto Wibisono
COPYRIGHT © 2011

Pemkab Bantah Kartu Aspal Kadinkes: Warga Tak Paham Prosedur

Saturday, 09 April 2011 10:57

http://www.radarjogja.co.id/berita/metropolis/15706-pemkab-bantah-kartu-aspal-.html

SLEMAN – Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Sleman meluruskan pemberitaan soal kartu jaminan kesehatan (jamkes) bagi warga korban Merapi yang dinilai tak berfungsi. Kepala Dinas Kesehatan Sleman Mafilindati Nuraini membantah kartu yang dipegang warga palsu. Tidak berfungsinya kartu menurutnya karena kurangnya pemahaman warga mengenai penggunaan fasilitas jamkes tersebut.
“Ada prosedur yang mungkin masyarakat kurang memahami. Padahal jaminan kesehatan untuk warga korban Merapi itu dipastikan bisa digunakan,” bantah Mafilindati dalam jumpa pers di Pemkab Sleman, kemarin (8/5).
Pernyataan Kadinkes Sleman ini sebagai klarifikasi terhadap pemberitaan sebelumnya yang menyatakan bahwa kartu jamkes yang diberikan kepada warga korban Merapi tak bisa digunakan (Radar Jogja, 7/5). Seperti diberitakan sebelumnya Kaur Kesra Pemdes Wukirsari Heru Santoso mengaku mendapat keluhan dari warga terkait kartu jamkes yang diberikan. Kartu tersebut tidak bisa digunakan sebagaimana mestinya. Beberpa warga masih diharuskan membayar saat melakukan pengobatan di rumah sakit.
Mafilinda memaparkan untuk menggunakan kartu jamkes, warga terlebih dahulu harus melalui tahapan selanjutnya. Yakni melaporkannya ke kantor Askes dan menukarkan kartu jamkes dengan kartu jaminan kesehatan masyarakat (jamkesmas). ”Setelah mendapat kartu tersebut, barulah bisa digunakan untuk jaminan di rumah sakit dan pengobatan bisa gratis,” imbuh Mafilindati.
Dijelaskan, ada 13 rumah sakit yang bisa melayani jamkes bagi warga Merapi di kawasan rawan bencana (KRB). Antara lain RSUP Sarjito, RSUD Sleman, RS Prambanan, RS Grhasia, RS Puri Husada, RS Condong Catur, RS Panti Nugroho, RS Mitra Paramedika, RS Sakina Idaman, RS PDHI, RS Bhayangkara, RS Panti Rini dan RS Queen Lativa. ”Selain itu, kartu jamkes tidak bisa digunakan,” terangnya.
Jumlah warga Merapi yang dijamin jamkes di Sleman ada 144.660 jiwa. Semuanya merupakan warga yang tinggal di kawasan rawan bahaya Merapi di tujuh kecamatan, yakni Cangkringan, Pakem, Turi, Ngemplak, Tempel, Ngaglik, dan Kalasan.
Terpisah, Wakil Ketua DPRD Sleman Rohman Agus Sukamto mengaku tidak bisa menerima penjelasan yang diberikan Mafilinda. Sebab, dari keluhan yang diterimanya kondisi yang dialami warga berbeda. “Tidak semudah itu. Ada yang pernah di pingpong untuk pengurusan ini,” tuturnya ditemui di kantor DPRD DIJ.
Rohman menegaskan segera akan meminta klarifikasi terkait dengan persoalan ini. Dalam waktu dekat, dewan akan memangil Dinkes Sleman untuk meminta penjelasan. ”Kami ingin kebijakan yang dikeluarkan pemerintah benar-benar mengutamakan kepentingan warga di Merapi,” tandasnya. (nis)

400 Perumahan Sleman Tak Patuh

400 Perumahan Sleman Tak Patuh

http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/386698/

Sunday, 13 March 2011
SLEMAN– Sekitar 400 lokasi perumahan di Sleman tidak taat aturan. Dari 800 lokasi perumahan yang ada, 50% di antaranya diketahui melanggar Peraturan Bupati (Perbup) No 11/2007 tentang Pengembangan Perumahan.

Data Dinas Pekerjaan Umum dan Perumahan (DPUP) Sleman menyebutkan, separuh perumahan yang ada di Sleman belum menyediakan fasilitas umum (fasum) dan fasilitas sosial (fasos) sebagaimana yang diatur dalam perbup itu. Kepala Seksi Pengembangan Perumahan DPUP Sleman Muhammad Nurochmawardi membenarkan hal tersebut.Sesuai dengan perbup, untuk site plan terdapat beberapa syarat yang harus dipenuhi pengembang.

Di antaranya perbandingan fasum dengan lahan antara 30% dan 40%.Bagi perumahan yang jumlah kavelingnya di bawah 50 unit maka luas fasumnya 30% dari luas lahan yang ada. Kalau perumahan yang memiliki kaveling di atas 200 unit maka fasumnya 40% dari luas lahan yang ada. Jika mengacu pada perbup ini, mestinya yang 30% dan 40% dari luas lahan perumahan diperuntukkan untuk fasum maupun fasos, seperti jalan, drainase, balai pertemuan,dan tempat ibadah.Namun,selama ini fasum maupun fasos yang disediakan hanya berupa jalan, sedangkan yang lainnya tidak ada.

”Biasanya itu dilakukan pengembang kecil yang tidak masuk dalam asosiasi pengembang perumahan.Mereka hanya mengejar keuntungan sehingga tidak menyediakan fasum dan fasos,”paparnya kemarin Selain masalah site plan, untuk pembangunan perumahan juga banyak yang tidak memiliki izin mendirikan bangunan (IMB). Kondisi ini terjadi lantaran pengembang tidak memiliki site plan. Terutama bagi pengembang dengan kaveling kecil. Untuk mendapatkan site plan maka pengembang juga harus menaati ketentuan kaveling minimal.

Kaveling minimal yang ditentukan adalah 125 m? untuk daerah luar resapan air hujan dan 200 m? untuk daerah yang berada di kawasan resapan air hujan. ”Site planini merupakan salah satu syarat dikeluarkannya IMB. Jika site plan tidak terbit tentu IMB juga tidak turun.Sehingga dengan kenyataan tersebut, konsumen yang dirugikan,” paparnya. Selain site plan,persyaratan untuk mencari IMB adalah harus memiliki izin pemanfaatan tanah (IPT), dokumen lingkungan, dan pecah kaveling di Badan Pertanahan Nasional (BPN).Jika semua persyaratan ini terpenuhi, IMB dipastikan keluar.

”Biasanya para pengembang tersebut tidak memenuhi syarat itu, dan kavelingnya kecil sehingga mencari IMB terkesan sulit,” ungkapnya. Wakil Ketua III DPRD Sleman Rohman Agus Sukamto mengaku sangat prihatin dengan masih banyaknya lokasi perumahan di Sleman yang belum sesuai dengan ketentuan, terutama Perbup No 11/- 2007.

Karena itu,pihaknya minta adanya ketegasan dari pemkab terhadap masalah ini. Jika ini dibiarkan, yang menjadi korban tentunya warga itu sendiri. ”Ini juga membuktikan kesejahteraan warga Sleman masih perlu mendapatkan perhatian yang lebih dari pemkab. Khususnya menandakan pembangunan di Sleman belum merata, yaitu belum dapat menjangkau semua lapisan masyarakat,” paparnya. priyo setyawan

Gubernur Tak Kirim Sekda ke Sleman



JOGJA - Tiga pejabat Pemkab Sleman yang dinominasikan menjadi kandidat sekretaris daerah (sekda) telah menjalani uji kepatutan dan kelayakan di depan Gubernur DIJ Hamengku Buwono X. Setelah menguji, HB X menilai secara administrasi semua calon memenuhi persyaratan.
”Harapannya bisa terpilih yang baik dari yang terbaik,” ujar Gubernur di Kepatihan kemarin (29/3). Adapun tiga kandidat Sekda Sleman itu adalah Staf Ahli Bupati Sleman Dwi Supriyanto, Kepala Dinas Pertanian dan Kehutanan Slamet Riyadi Martoyo, dan Assekda Perekonomian dan Pembangunan dr Sunartono.
Mereka diuji sejak pukul 9.00 di ruang kerja gubernur. Setelah menguji selama dua jam, sekitar pukul 11.00, HB X meninggalkan Kepatihan untuk menghadiri acara ke Jakarta. Proses seleksi menyangkut persoalan teknis dilanjutkan Sekprov DIJ Tri Harjun Ismaji. Selama uji kepatutan dan kelayakan berlangsung, Bupati Sleman Sri Purnomo dan Sutrisno, Sekda Sleman yang akhir Maret ini pension, juga ikut hadir.
Meski telah mewawancarai tiga pejabat Sleman, HB X enggan menjelaskan materi pertanyaaan yang diajukan. “Untuk dialog dengan saya sudah selesai. Tentang apa saja isinya, nggak perlu lah,” elaknya.
Dengan pertimbangan yang memakai Sekda hasil seleksi itu adalah bupati Sleman, HB X menambahkan segera memproses hasil uji kepatutan dan kelayakan tersebut. Pemprov juga tak punya rencana mendrop pejabat dari provinsi untuk ditempatkan sebagai Sekda Sleman seperti pengalaman Sutrisno. Untuk diketahui sebelum menjadi Sekda Sleman, Sutrisno merupakan pejabat provinsi yang bertugas di Badan Kementerian Dalam Negeri.
“Nggak, kita nggak akan kirimkan (pejabat ke Sleman),” tandas Gubernur.
Berdasarkan catatan, bukan hal baru Sekda Kota dan Kabupaten se-DIJ dikirimkan dari pejabat di lingkungan Pemprov DIJ. Untuk Sleman, selama lebih dari 10 tahun terakhir Sekda yang menjabat semuanya berasal dari luar Sleman. Sebelum Sutrisno, Sekda Sleman dijabat RM Tirun Marwito yang sebelumnya menjadi kepala Biro Umum Setprov DIJ.
Menanggapi proses seleksi calon Sekda Sleman itu, Wakil Ketua DPRD Sleman Rohman Agus Sukamto mengaku tak punya banyak harapan akan mampu mempercepat perubahan di Sleman. Bahkan secara lugas bila pihaknya diizinkan memilih, Agus lebih sreg bila Bupati Sleman Sri Purnomo mengimpor pejabat dari luar Sleman. Misalnya dari Provinsi DIJ.
Pengalaman itu merujuk kebijakan Bupati Arifin Ilyas saat mengimpor Sutrisno yang berlatar belakang dari pejabat fungsional Diklat Kementerian Dalam Negeri. Kebijakan ini juga ditiru Bupati Ibnu Subiyanto mendatangkan Tri Harjun Ismaji dari Kementerian Kimpraswil (sekarang PU) menjadi kepala Bappeda Sleman.
Belakangan Tri Harjun ditarik gubernur menjadi kepala Dinas Kimpraswil sebelum akhirnya menjabat Sekprov DIJ.
“Dalam kondisi sekarang impor pejabat Sekda lebih baik,” ucapnya.
Direktur Masyarakat Sleman Transparansi (MST) Andi Pettanessa setuju dengan pendapat Agus. Baginya lebih tepat bila bupati Sleman mengimpor pejabat dari Pemprov DIJ seperti dilakukan pendahulunya. “Atau di balik, gubernur dengan kewenangannya bisa mengekspor pejabat provinsi ke Sleman. Sekda Sleman didrop saja dari pemprov,” desaknya.
Dari rekam jejak yang dicatat MST, tiga pejabat yang dipilih Sri Purnomo itu cenderung tak memiliki prestasi yang spektakuler selama menjabat. Selain cenderung kalem dan low profile, tak banyak kinerja menonjol ditunjukan tiga kandidat tersebut.
Justru yang menjadi catatan publik, salah satu diantara tiga calon tersebut turut terlibat dalam kebijakan kontroversial sebuah proyek penunjukan langsung yang sekarang ditangani Kejari Sleman.
Dalam kesempatan itu, Andi berharap pemprov bisa menjadi filter dalam menjaring calon sekda Sleman. Dengan demikian calon yang dipilih betul-betul berkualitas dan mampu mengemban amanah secara baik. Di samping itu, sekda Sleman harus punya ketegasan dan keberanian mengambil kebijakan. “Jangan sampai pejabat publik gampang disetir atau menjadi boneka oleh berbagai kepentingan baik itu
eksternal maupun internal,” tutur Andi. (kus)

Laporan PAD Sleman Molor

http://www.krjogja.com/news/detail/43777/Laporan.PAD.Sleman.Molor.html

Jumat, 30 Juli 2010 18:05:00
Ilustrasi (Foto:Dok)

SLEMAN (KRjogja.com) - Badan Anggaran DPRD Kabupaten Sleman menilai laporan tentang pendapatan asli daerah (PAD) Dinas Pengelolaan Keuangan dan Kekayaan Daerah (DPKKD) pada semester satu tahun 2010 terlambat dan seharusnya disampaikan pada Juli 2010.

"Realisasi pencapaian PAD harusnya dialporkan eksekutif setiap semester. Ini sudah akhir Juli, kami masih belum menerima laporannya. Padahal, saat ini Anggaran Pendapatan dan Belanja Perubahan (APBDP) 2010 sudah mulai dibahas," kata Pimpinan Banggar DPRD Sleman Rohman Agus Sukamto saat sidang anggaran di Kantor DPRD Sleman, Jumat (30/7).

Terpisah, Kepala DPKKD Sleman, Samsidi, membantah jika pihaknya molor dalam memberikan laporan PAD ke dewan. Dirinya mengaku sudah menyelesaikan perhitungan laporan PAD semester pertama 2010.

"Kalaupun prosesnya berlangsung hingga akhir Juli, itu tidak bisa dikatakan terlambat. Laporan sudah selesai dan sudah ditandatangi semua. Nanti setelah Jumatan baru mau diserahkan. Jadi, tidak ada kata molor," sanggahnya ketika dikonfirmasi wartawan.

Menurut Samsidi, PAD semester pertama 2010 sudah mencapai 53,28 persen dari target. Jika APBD 2010 menargetkan jumlah PAD Rp 147 miliar, maka saat ini pemerintah daerah sudah berhasil mendapatkan sebanyak Rp 78,3 miliar.

"Kalau hingga akhir semester kedua besok, kami optimis tercapai target. Tahun kemarin saja realisasi juga lebih dari target,” ujarnya Samsidi. (Dhi)

Penting, Validasi Koperasi dan UMKM Korban Merapi

Penting, Validasi Koperasi dan UMKM Korban Merapi

Selasa, 15 Pebruari 2011 19:11:00
http://www.krjogja.com/news/detail/70917/Penting..Validasi.Koperasi.dan.UMKM.Korban.Merapi.html

Ilustrasi. Foto: Dok

SLEMAN (KRjogja.com) - DPRD Sleman minta pemerintah agar benar-benar melakukan verifikasi data terkait Koperasi dan UMKM terdampak erupsi Merapi. Hal ini sangat penting agar kebijakan pemberian bantuan bisa tepat sasaran.

Wakil Ketua DPRD Sleman, Rohman Agus Sukamto menjelaskan, pihaknya sudah meneruskan usulan Pemkab Sleman mengenai penghapusan kredit koperasi dan UMKM sebesar Rp 10 miliar. "Ada 16 unit koperasi dan UMKM yang diusulkan penghapusan kredit senilai Rp 10 miliar kepada Kementrian Koperasi dan UKM. Namun, kami minta pemerintah bisa melakukan cek dan ricek terkait koperasi dan UMKM terdampak erupsi Merapi itu," ungkapnya kepada KRjogja.com, Selasa (15/2).

Validasi data tersebut, lanjut Agus, supaya keputusan pemerintah bisa tepat sasaran. Jangan sampai, koperasi dan UMKM yang kreditnya sudah macet sebelum erupsi justru turut terdaftar. "Kalau sampai begitu kan kasihan dengan koperasi dan UMKM yang benar-benar menjadi korban erupsi Merapi. Hal ini semata-mata atas dasar rasa keadilan," imbuhnya.

Dijelaskan Agus, saat DPRD Sleman melakukan kunjungan kerja ke Kementrian Koperasi dan UKM, ada 2 kebijakan yang mungkin ditempuh oleh pemerintah. Yakni penghapusan hutang atau penghapusan buku. "Kalau penghapusan hutang, maka kredit yang macet itu sudah diputihkan. Sedang kalau penghapusan buku, maka bunga hutang dihapuskan hingga koperasi dan UMKM itu bisa mencicil hutangnya kembali," paparnya.

Selain itu, khusus untuk Industri Kecil dan Menengah (IKM), pihak dewan mendesak agar ada penangguhan pembayaran kredit selama 6 bulan. Pihaknya mendesak Bank Indonesia (BI) untuk melakukan konsolidasi dengan bank swasta. "Selama ini, IKM banyak yang melakukan perkreditan kepada bank swasta. Nah, kami sudah meminta BI agar mengeluarkan surat edaran penghentian penagihan selama 6 bulan," jelas Agus.

Namun demikian, pemerintah sudah akan memberikan dorongan bagi IKM terdampak erupsi Merapi. Yakni berupa bantuan peralatan, pemberian pelatihan dan bantuan promosi. (Dhi)