Senin, 05 Juli 2010

PENGAWASAN PAJAK DAN KEUANGAN NEGARA

PENGAWASAN PAJAK DAN KEUANGAN NEGARA
Arief Hartanto, SE

A. Latar Belakang
Pajak merupakan salah satu sumber yang cukup penting bagi penerimaan negara guna pembiayaan pembangunan di akhir-akhir ini. Kontribusi pajak terhadap pembangunan telah menyamai atau bahkan lebih besar dari sektor minyak dan gas sebagai sumber dana pembangunan.
Dari sumber-sumber penerimaan negara tersebut, pajak merupakan sumber yang paling dominan karena hal tersebut terbukti dari angka yang terdapat pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dari tahun ke tahun yang menunjukkan bahwa penerimaan pajak terus mengalami peningkatan.
Sebagaimana diketahui bahwa dalam Anggaran Pendapatan Negara yang dibuat oleh Pemerintah terdapat tiga sumber penerimaan yang menjadi pokok andalan, yaitu:
a. Penerimaan dari sektor pajak.
b. Penerimaan dari sektor migas (minyak dan gas bumi), dan
c. Penerimaan dari sektor bukan pajak.

Dari ketiga sumber penerimaan di atas, penerimaan dari sektor pajak ternyata merupakan salah satu sumber penerimaan terbesar negara. Dari tahun ke tahun kita dapat melihat bahwa penerimaan pajak terus meningkat dan memberi andil besar dalam penerimaan negara. Penerimaan dari sektor pajak selalu dikatakan merupakan primadona dalam membiayai pembangunan nasional. Sedangkan penerimaan dari migas, yang dahulu selalu menjadi andalan penerimaan negara, sekarang migas sudah tidak bisa diharapkan sebagai sumber penerimaan keuangan negara yang terus menerus karena sifatnya yang tidak dapat diperbaharui (non renewable resources). Penerimaan migas pada suatu waktu akan habis sedangkan dari pajak selalu dapat diperbaharui sesuai dengan perkembangan ekonomi di masyarakat.
Peranan penerimaan perpajakan terhadap penerimaan dalam negeri sejak tahun 1984/85 hingga 2002 relatif terus meningkat. Dari peranannya sebesar 30,1 % pada tahun 1984/85 meningkat menjadi lebih dari dua kali lipat (70,4%) pada tahun 2002. Dilihat dari jenis pajaknya, PPh dan PPN memberikan sumbangan yang terbesar terhadap penerimaan dalam negeri. Sementara itu, peranan pajak terhadap belanja negara juga terus meningkat. Pada tahun 1984/85 peranannya tercatat sebesar 31,2% dan meningkat menjadi dua kali lipat (62,1%) pada tahun 2002. Sejak tahun 1990/91 sektor perpajakan telah mampu membiayai lebih dari 50% dari keseluruhan belanja Negara.
Realisasi penerimaan pajak dari Januari hingga November 2008 mencapai Rp 508,48 triliun atau meningkat 41,04% dibandingkan realisasi pada periode yang sama pada 2007 yang sebesar Rp 360,512 t triliun. Sebagaimana yang dinyatakan oleh Dirjen Pajak Darmin Nasution .
Dari total tersebut untuk penerimaan pajak non migas periode Januari-November 2008 mencapai Rp 437,38 triliun atau tumbuh 37,63% dibanding periode yang sama 2007. Sedangkan untuk penerimaan PPh migas pada periode tersebut mencapai Rp 71,09 triliun atau meningkat 66,5% dibanding periode yang sama tahun 2007.
Dari sini dapat kita baca bahwa pajak mempunyai peran yang sangat signifikan dalam APBN Indonesia yang memprioritaskan sektor pajak sebagai salah satu sumber pendanaan utama dalam pembangunan.




B. Pajak dalam Konteks Hukum Keuangan Negara
Saat ini Indonesia mulai memprioritaskan sektor pajak sebagai sumber pendanaan pembangunan di berbagai bidang. Peningkatan penerimaan pajak tersebut dimulai pada tahun fiskal 1984, pemerintah memberitahukan reformasi perpajakan dengan menerapkan sistem self assessment dalam pemungutan pajak . Penerimaan sektor pajak mengalami peningkatan volume dari tahun ke tahun sejak pembaharuan di bidang perpajakan, yang dikenal dengan reformasi pajak yang dilaksanakan tahun 1983.
Dengan reformasi pajak nasional sistem pajak yang berlaku saat ini akan disederhanakan . Penyederhanaan tersebut mencakup jenis pajak, tarif pajak dan cara pembayaran pajak. Setelah reformasi ini sistem pembayaran pajak akan makin adil dan wajar, sedangkan jumlah wajib pajak akan makin luas. Selanjutnya reformasi pajak akan dilakukan terhadap aparat pajak, baik yang menyangkut prosedur, tata kerja, disiplin maupun mental. Reformasi perpajakan tidak berhenti begitu saja, tetapi harus dilakukan perubahan dan penyempurnaan sesuai dengan tuntutan sistem perekonomian.
Pajak juga merupakan suatu fenomena yang selalu berkembang di masyarakat Indonesia karena diiringi dengan perkembangan perekonomian negara Indonesia. Dalam era globalisasi atau era persaingan bebas ini, cepat atau lambat tidak dapat ditolak dan harus menerima keberadaan globalisasi ekonomi serta mengambil kesempatan yang dapat timbul akibat adanya perubahan ekonomi internasional. Salah satu perangkat pendukung yang menunjang agar tercapai keberhasilan ekonomi dalam meraih peluang adalah hukum pajak atau yang sering disebut dengan hukum fiskal, yaitu keseluruhan dari peraturan-peraturan yang meliputi kewenangan pemerintah dalam memungut pajak. Untuk menjadikan pajak sumber penerimaan negara atau pembiayaan pembangunan yang utama, bukan merupakan hal yang mudah karena banyak kendala-kendala yang dihadapi, baik yang timbul dari masyarakat sebagai wajib pajak maupun dari pihak otoritas pajak serta peraturan perundang-undangan.
Pembayaran pajak merupakan perwujudan dari kewajiban kenegaraan dan peran serta Wajib Pajak untuk secara langsung dan bersama-sama melaksanakan kewajiban perpajakan untuk pembiayaan negara dan pembangunan nasional. Sesuai falsafah undang-undang perpajakan, membayar pajak bukan hanya merupakan kewajiban, tetapi merupakan hak dari setiap warga Negara untuk ikut berpartisipasi dalam bentuk peran serta terhadap pembiayaan negara dan pembangunan nasional. ( Buku Panduan Hak dan Kewajiban Pajak.
Tanggung jawab atas kewajiban pembayaran pajak, sebagai pencerminan kewajiban kenegaraan di bidang perpajakan berada pada anggota masyarakat sendiri untuk memenuhi kewajiban tersebut. Hal tersebut sesuai dengan sistem self assessment yang dianut dalam Sistem Perpajakan Indonesia.
Pajak yang dipungut hendaknya tidak memberatkan wajib pajak. Artinya pemerintah harus memperhatikan layak atau tidaknya seseorang dikenakan pajak sehingga orang yang dikenai pajak akan senang hati membayar pajak. Prinsip Kecocokan/ Kelayakan (Convience).
Dari sini penting sekali jaminan hokum dari sebuah aturan pajak yang dikenakan Negara kepada warga negaranya, tidak saja mengatur kewajiban warga Negara namun juga tanggung jawab Negara dalam melakukan pemungutan maupun pengeloaan pajak tersebut untuk sebesar-besarnya kesejahteraan warga negaranya.
Peranan hukum dalam pembangunan ekonomi dan pengelolan keuangan negara masih saja diperdebatkan. Perdebatan ini merupakan sebagian dari perdebatan yang lebih luas, tentang peranan hukum di dalam masyarakat. Lembaga hukum adalah salah satu di antara lembaga/pranata-pranata sosial, seperti juga halnya keluarga, agama, ekonomi, perang atau lainnya.
Hukum bagaimanapun sangat dibutuhkan untuk mengatur kehidupan bermasyarakat di dalam segala aspeknya, apakah itu kehidupan sosial, kehidupan politik, budaya, pendidikan apalagi yang tak kalah pentingnya adalah fungsinya atau peranannya dalam mengatur kegiatan ekonomi. Dalam kegiatan ekonomi inilah justru hukum sangat diperlukan karena sumber-sumber ekonomi yang terbatas disatu pihak dan tidak terbatasnya permintaan atau kebutuhan akan sumber ekonomi dilain pihak, sehingga konflik antara sesama warga dalam memperebutkan sumber-sumber ekonomi tersebut akan sering terjadi. Dengan demikian, bila kita kembali kepada peranan hukum untuk melindungi, mengatur dan merencanakan kehidupan ekonomi sehingga dinamika kegiatan ekonomi itu dapat diarahkan kepada kemajuan dan kesejahteraan bagi seluruh masyarakat sebagaimana dikemukakan oleh Thomas Aquinas dalam Suma Theologica.
Pajak mengandung pengertian Iuran yang harus dibayar oleh wajib pajak (masyarakat) kepada negara (pemerintah) berdasarkan norma- norma hukum dan tidak memperoleh balas jasa secara langsung. Adapun Dasar Pemungutan Pajak adalah :
1. UU No. 16 Tahun 2000: Peraturan Umum dan Tata Cara Perpajakan.
1. UU No. 17 Tahun 2000: Pajak Penghasilan (PPh).
2. UU No. 18 Tahun 2000: PPN dan PPnBM
3. UU No. 19 Tahun 2000: Penagihan Pajak dengan Surat Paksa.
4. UU No. 20 Tahun 2000.
Pajak dikenakan secara umum dan sesuai dengan kemampuan wajib pajak atau sebanding dengan tingkat penghasilannya. Prinsip Keadilan (Equity)
Pemungutan pajak harus dilakukan dengan Prinsip tegas,jelas, dan ada kepastian hukum. Kepastian (Certainty) Hal ini dimaksudkan agar mudah dimengerti oleh wajib pajak dan memudahkan administrasi.
Pajak yang dipungut hendaknya tidak memberatkan wajib pajak. Artinya pemerintah harus memperhatikan layak atau tidaknya seseorang dikenakan pajak sehingga orang yang dikenai pajak akan senang hati membayar pajak. Prinsip Kecocokan/ Kelayakan (Convience).















C. Hukum Keuangan Negara Yang Berprinsip Keadilan
Meski pemerintah terus mengupayakan pemerataan pembangunan Sebagai salah satu amanat dari pembukaan UUD kita untuk memajukan mensejahterakan umum, yang seharusnya menjadi kredo, tekad dari pemerintahan Indonesia, namun dalam prakteknya sampai saat inipun upaya untuk mengurangi kemiskinan, hasilnya belum menggembirakan. Ditengarai, ini terjadi karena setiap orang tidak memiliki akses yang sama dalam menikmati hasil-hasil pembangunan sebagai akibat dari ketimpangan dalam kapabilitas penduduk. Kapabilitas penduduk merupakan kemampuan seseorang untuk bertahan hidup.
Dua faktor penting yang mendasari kapabilitas penduduk, yaitu pendidikan dan kesehatan. Ini mengisyaratkan bahwa pendidikan dan kesehatan merupakan dimensi pokok yang harus dimiliki oleh setiap penduduk. Pemerintah sepatutnya bertanggung jawab terhadap pendidikan dan kesehatan dimaksud. Terkait dengan ini, tampaknya ada batas tertentu dari kapabilitas penduduk agar menjadi produktif dan tidak menjadi beban. Pada aspek kesehatan, misalnya, capaian batas itu, antara lain, bergantung pada pemenuhan gizi. Pada kasus biasa, batas itu berarti ambang ketidakberdayaan untuk bertahan hidup, namun pada kasus ekstrem batas itu dapat dimaknai sebagai ambang kematian.
Kelalaian akan pemenuhan pendidikan dan kesehatan, membuat penduduk menjadi tidak produktif dan menjadi derita panjang buat bangsa. Pemerintah perlu mengalokasikan anggaran yang sangat besar untuk mengatasi mereka yang berada di bawah batas itu.
Salah satu instrument yang memungkinkan untuk melakukan pemerataan hasil pembangunan tersebut adalah dengan mekanisme pajak. Pajak merupakan sebuah sarana yang ampuh untuk bias melakukan distribusi kekayaan dari warga Negara yang memiliki akses yang lebih besar terhadap hasil pembangunan disatu sisi dan dilain pihak bagi warga masyarakat yang kurang bisa menikmati hasil pembangunan, baik karena problem structural maupun problem lain yang mengakibatkan perannya termarginalkan dalam pembangunan,disinilah muncul pentingnya pajak sebagai salah satu mekanisme solusi permsalahan tersebut.
Hukum sekali lagi mengambil peran yang krusial dalam hal ini, yakni adanya kepastian akan hak dan kewajiban warga Negara, dalam kaitannya dengan pajak sertapengelolaan keuangan Negara secara komprehensif. Peeran-peran hokum tersbut harus bisa memberikan sebuah jaminan bahwa apa yang telah dibayarkan oleh warga Negara kepada pemerintah dalam bentuk pajak tersebut nyata-nyata mempunyai landasan hokum yang kuat dalam bentuk undang-undang dan sebagainya, serta dengan kejelsana penegakan hokum bagi siapa saja yang melanggarnya. Hukum dalam hal ini tidak bisa dan tidak boleh berbicara kepentingan pribadi maupun golongan tertentu yang memegang kekuasaan untuk bisa dengan sekehendak hatinya melakukan pengelolaan keuangan Negara tanpa adanya control dari masyarakat, sudah tidak mungkin lagi masyarakat memberikan "cek kosong" kepada para pengelola Negara dalam melaksanakan kegiatan pembangunan.
Moral hazard dari penyelanggara negara akibat informasi yang asimetri antara rakyat (principal) dan pemerintah (agent) pada gilirannya melahirkan situasi adverse selection. Di mana rakyat dihadapkan pada pilihan-pilihan yang semakin hari semakin buruk dan tidak menguntungkan bagi mereka akibat sepak terjang pengelola negara yang tidak bertanggungjawab dengan memanfaatkan ketidaktahuan rakyat banyak.
Namun jika hukum yang berlaku tidak bisa memberikan payung pengayoman terutama kepada warga negaranya maka negara tidak lebih sebagai sebuah perampok yang terorganisir sebagaimana diungkapkan, Apa bedanya antara perampok dan negara?. Keduanya sama-sama menghisap uang rakyat, keduanya sama-sama bisa memaksa rakyat. Jika perampok adalah orang atau sekelompok orang yang mengambil kekayaan orang lain untuk diri mereka, sedangkan negara, terdiri dari kelompok orang yang mengambil pajak dari rakyat untuk kepentingan rakyat itu sendiri, atau minimal untuk kepentingan bersama. Logikanya, jika rakyat dihisap kekayaannya lewat berbagai pajak dan pungutan, terpaksa atau tidak terpaksa, dan kemudian uang itu oleh negara tidak dikembalikan kembali kepada rakyat, maka, niscaya negara tersebut juga sama saja dengan perampok, ialah perampok yang terorganisir .
Memang, jika ditilik secara historis, hal ini adalah persoalan yang telah berurat dan berakar sejak masa Orde Baru. Dan secara teoritis, setiap rejim sampai kadar tertentu merupakan ‘tawanan’ dari rejim-rejim sebelumnya dengan berbagai ‘warisan’ tak terelakan dari rejim-rejim sebelumnya berupa tatanan, kebijakan, dan produk regulasinya yang tidak mungkin dikikis dalam waktu yang singkat. Ini adalah persoalan kultur, tradisi yang berlangsung cukup panjang dalam birokrasi kita
Persoalan diatas sebenarnya merupakan principal agent problem, di mana rakyat sebagai principal tidak memiliki akses informasi yang cukup tentang persoalan keuangan negara yang dikelola pemerintah sebagai agent. Moral hazard dari penyelanggara negara akibat informasi yang asimetri antara rakyat (principal) dan pemerintah (agent) pada gilirannya melahirkan situasi adverse selection. Di mana rakyat dihadapkan pada pilihan-pilihan yang semakin hari semakin buruk dan tidak menguntungkan bagi mereka akibat sepak terjang pengelola negara yang tidak bertanggungjawab dengan memanfaatkan ketidaktahuan rakyat banyak. .













D. Solusi Masalah
Untuk menjadikan pajak sumber penerimaan negara atau pembiayaan pembangunan yang utama, bukan merupakan hal yang mudah karena banyak kendala-kendala yang dihadapi, baik yang timbul dari masyarakat sebagai wajib pajak maupun dari pihak otoritas pajak serta peraturan perundang-undangan.
Pada masa sebelum Peraturan Perpajakan tahun 1983 diberlakukan, diterapkan Official Assessment System dimana dalam sistem pemungutan pajak ini memberi wewenang kepada pemungut pajak (fiskus) untuk menentukan besarnya pajak yang harus dibayar (pajak yang terutang) oleh seseorang. Dengan sistem ini wajib pajak bersifat pasif dan menunggu dikeluarkannya suatu ketetapan pajak oleh fiskus. Besarnya utang pajak seseorang baru diketahui setelah adanya surat ketetapan pajak. Tetapi setelah tahun 1983, berdasarkan Undang-undang Perpajakan Tahun 1983 dan berlalu di Indonesia sejak tahun 1984 sampai sekarang diterapkan Self Assessment System, dimana wajib pajak diberi wewenang penuh untuk menghitung, memperhitungkan, menyetorkan, dan melaporkan sendiri besarnya utang pajak. Dalam sistem ini wajib pajak aktif sedangkan fiskus tidak turut campur dalam penentuan besarnya pajak yang terutang seseorang, kecuali wajib pajak melanggar
ketentuan yang berlaku.
Tiga prinsip yang mendasari sistem dan mekanisme pemungutan pajak sebagaimana dalam Penjelasan Umum Undang-undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2000 tentang Perubahan kedua atas Undang-undang No. 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan adalah:
a. Pemungutan pajak merupakan perwujudan pengabdian dan peran serta wajib pajak untuk secara langsung dan bersama-sama melakukan kewajiban perpajakan yang diperlakukan untuk pembiayaan negara.
b. Tanggung jawab atas kewajiban pelaksanaan pemungutan pajak sebagai pencerminan kewajiban di bidang perpajakan berada pada anggota masyarakat wajib pajak sendiri. Pemerintah dalam hal ini aparat perpajakan, sesuai dengan fungsinya berkewajiban melakukan pembinaan, pelayanan dan pengawasan terhadap pemenuhan kewajiban perpajakan berdasarkan ketentuan yang digariskan dalam peraturan perundang-undangan perpajakan.
c. Anggota masyarakat wajib pajak diberi kepercayaan untuk dapat melaksanakan kegotong royongan nasional melalui sistem menghitung, memperhitungkan, membayar dan melaporkan sendiri pajak yang terutang (self assessment) sehingga melalui sistem ini administrasi perpajakan diharapkan dapat dilaksanakan dengan rapi, terkendali, sederhana, dan mudah untuk dipahami oleh anggota masyarakat wajib pajak.
Dengan berpegang teguh pada prinsip kepastian hukum, keadilan dan kesederhanaan, maka arah dan tujuan penyempurnaan Undang-Undang Perpajakan ini mengacu pada kebijaksanaan. Salah satu pajak yang dibebankan kepada wajib pajak baik orang pribadi maupun badan yang menjalankan suatu usaha adalah Pajak Penghasilan (PPh). Pajak penghasilan ini diatur berdasarkan Undang-Undang Nomor 17 tahun 1983 yang mengalami perubahan menjadi Undang-Undang Nomor 17 tahun 2000 dan diberlakukan per 1 Januari 2001. Dengan adanya undang-undang tersebut, maka setiap wajib pajak yang menjalankan suatu usaha wajib untuk menghitung pajak penghasilannya. Untuk menghitung besarnya pajak penghasilan yang terutang, dalam hal ini wajib pajak orang pribadi diperkenankan untuk menggunakan dasar pembukuan atau menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto (NPPN) yang telah ditentukan berdasarkan undang-undang. Kewajiban menyelenggarakan pembukuan pada dasarnya telah diatur dalam pasal 28 Undang-Undang No. 6 tahun 1983 tentang Ketentuan Umum Tata Cara Perpajakan. Namun, ketentuan pembukuan dimaksud hanya diberikan secara umum. Oleh karena itu, dalam rangka memenuhi kewajiban perpajakan perlu ada usaha sendiri dari wajib pajak orang pribadi untuk memahami seluk beluk pembukuan. Pada umumnya pembukuan dijadikan titik tolak untuk menghitung penghasilan kena pajak. Namun disadari pula bahwa tidak semua wajib pajak orang pribadi mampu menyelenggarakan pembukuan, oleh karena itu diperkenankan menerapkan norma penghitungan yang merupakan suatu pedoman tentang cara untuk menentukan penghasilan neto dan penghasilan pajak (ps. 14 UU PPh 1984). Wujud dari norma penghitungan adalah merupakan suatu prosentase atau angka perbandingan lainnya yang dipergunakan untuk penghitungan penghasilan neto.
Disinilah peran legislatif dan lembaga-lembaga swadaya masyarakat dalam melakukan pemberdayaan rakyat menunjukkan urgensinya, agar partisipasi rakyat semakin tinggi. Keran akses informasi mesti dibuka selebar-lebarnya bagi rakyat, dan lembaga legislatif dalam kapasitasnya sebagai lembaga yang melaksanakan fungsi pengawasan serta lembaga swadaya masyarakat mesti menjadi elemen pengawas yang efektif. Bukannya justru berkolaborasi dengan penyelenggara ngara untuk membodohi rakyat. Dengan semakin masifnya arus informasi ke dalam masyarakat dan semakin tingginya tingkat partisipasi masyarakat dalam proses pengelolaan negara, akan makin mempersempit ruang gerak penyelenggara negara untuk melakukan tindakan penyelewengan. Dalam urusan keuangan daerah, paradigma penyejahteraan rakyat (social welfare paradigm) juga menjadi bagian tidak terpisahkan, sebagaimana mandat dalam UUD 1945 pasal 18A ayat (2): “Hubungan keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah diatur dan dilaksanakan secara adil dan selaras berdasarkan undang-undang.”
Contoh sederhananya, betapa kegagalan pemda (sekaligus Pemerintah) untuk menjalankan mandat Pasal 31 ayat 4 UUD 1945 soal anggaran pendidikan minimum 20 persen,10 sementara di sisi lain tidak ada upaya progresifitas kebijakan anggaran untuk memprioritaskan kebutuhan dasar rakyat miskin atas pendidikan. Yang terjadi justru, sekali lagi disorientasi kebijakan anggaran, penghamburan dan korupsi yang akut.
Sayangnya, paradigma hukum keuangan negara dengan dimensi pertanggungjawaban hak asasi manusia, khususnya penghormatan, perlindungan dan pemenuhan hak ekonomi, sosial dan budaya yang tidak menjadi perhatian paradigma neo-liberal dalam tata kelola keuangan, justru kian halus mensubversinya dengan teknologi mistifikasi melalui kapasitas dan kooptasi demokrasi elektoral, sebagai legitimasi politik demokratisasi yang menempatkan keuangan negara berada di tangan “para bandit dan broker” kebijakan. Tak begitu mengherankan, the absence itu pulalah melahirkan demikian mudah korupsi yang dilegalkan (legalized corruption).
Makna kata “adil” dalam UUD 1945 pasal 18A ayat (2) tersebut memang memungkinkan ditafsirkan beragam, namun tidak sekalipun boleh lepas dari paradigma penyejahteraan rakyat. Tentunya, kuasa atas rumusan kata “adil” sangat dipengaruhi oleh pengambil kebijakan yang dominan, karena bagaimanapun realitas penafsiran senantiasa dikaitkan dengan tarik menarik berbagai kepentingan untuk memperebutkan sumberdaya lokal. kan penyalahgunaan dalam penggunaan keuangan negara.
Ini memang bukan kerja jangka pendek dan ini adalah persoalan komimen serta konsistensi. Syaratnya elemen-elemen reformis mesti memainkan peran strategisnya secara optimal dalam men-supply informasi sebanyak-banyak kepada rakyat dan terus melakukan upaya pencerahan serta pencerdasan kepada rakyat. Jangan pernah berkompromi dengan masa lalu dan elemen-elemennya yang cenderung mempertahankan status quo dan terus menggerogoti sendi-sendi perekonomian bangsa.

DAFTAR PUSTAKA
1. Gunarto. Peranan Hukum Dalam Pembangunan Ekonomi. Yogyakarta: Universitas Atma Jaya, 2002
2. Hidayat, Syarif . Desentralisasi untuk Pembangunan Daerah, Jurnal Hukum JENTERA, Edisi 14 Tahun IV, Oktober-Desember 2006.
3. Rajagukguk, Erman. Peranan Hukum Dalam Pembangunan Pada Era Globalisasi: Implikasinya Bagi Pendidikan Hukum di Indonesia. Pidato pengukuhan Guru Besar FH-UI, Januari, 1997.
4. Salman Luthan dan Agus Triyanta, Agar Negara tidak Menjadi Perampok Terorganisasi (Jawa Pos, Januari 2008), Dosen Fak.Hukum dan Magister Hukum Univ.Islam Indonesia


SUMBER DARI INTERNET

1. www.tranparansi.or.id Bambang Tri Harnoko, Disclaimer Laporan BPK , (Peneliti FAHAM INSTITUTE), Jurnal Transparansi Edisi 25/Oktober 2000, , diakses 25 Mei 2009 1025 WIB.
2. www.pajak.or.id Buku Panduan Hak dan Kewajiban Pajak.. Akses 7 Juni 2009, jam 13.00 WIB,
3. Republika. Online. October 29, 2008 Razali Ritonga, Sketsa Buram Pemerataan Pembangunan,.Diakses 25 Mei 2009, 10.30 WIB.
4. www. Berita Pajak.com , Endi Ahmadi, Survei Kinerja Perpajakan di Beberapa Daerah, diakses 29 Agustus 2009, 11.40 WIB
5. www.detik.com , Target Penerimaan Pajak APBN 2008 Sudah Tercapai 95,13%, dari diakses pada 29 Agustus 2009 12.00 WIB.

Penguatan Peran Partai Politik Di Era Reformasi


Penguatan Peran Partai Politik Di Era Reformasi

Dalam Sistem Politik Indonesia
Arief Hartanto, SE


A. PENDAHULUAN

Sejarah perkembangan partai politik di Indonesia sangat mewarnai perkembangan demokrasi di Indonesia. Hal ini sangat mudah dipahami, karena partai politik merupakan gambaran wajah peran rakyat dalam percaturan politik nasional atau dengan kata lain merupakan cerminan tingkat partisipasi politik masyarakat.
Romantika kehidupan partai politik sejak kemerdekaan, ditandai dengan bermunculannya banyak partai (multi partai). Secara teoritikal, makin banyak partai politik memberikan kemungkinan yang lebih luas bagi rakyat untuk menyalurkan aspirasinya dan meraih peluang untuk memperjuangkan hak-haknya serta menyumbangkan kewajibannya sebagai warga negara.
Banyaknya alternatif pilihan dan meluasnya ruang gerak partisipasi rakyat memberikan indikasi yang kuat bahwa sistem pemerintahan di tangan rakyat sangat mungkin untuk diwujudkan.
Sistem politik Indonesia telah menempatkan Partai Politik sebagai pilar utama penyangga demokrasi. Artinya, tak ada demokrasi tanpa Partai Politik. Karena begitu pentingnya peran Partai Politik, maka sudah selayaknya jika diperlukan sebuah peraturan perundang-undangan mengenai Partai Politik. Peraturan perundang-undangan ini diharapkan mampu menjamin pertumbuhan Partai Politik yang baik, sehat, efektif dan fungsional.
Pentingnya keberadaan Partai Politik dalam menumbuhkan demokrasi harus dicerminkan dalam peraturan perundang-undangan. Seperti diketahui hanya Partai Politik yang berhak mengajukan calon dalam Pemilihan Umum. Makna dari ini semua adalah, bahwa proses politik dalam Pemilihan Umum (Pemilu), jangan sampai mengebiri atau bahkan menghilangkan peran dan eksistensi Partai Politik. Kalaupun saat ini masyarakat mempunyai penilaian negatif terhadap Partai Politik, bukan berarti lantas menghilangkan eksistensi partai dalam sistem ketatanegaraan. Semua yang terjadi sekarang hanyalah bagian dari proses demokrasi.



B. BERKACA DARI SEJARAH SISTEM POLITIK INDONESIA
Memasuki periode Orde Baru, tepatnya setelah Pemilihan Umum 1971 pemerintah kembali berusaha menyederhanakan Partai Politik. Seperti pemerintahan sebelumnya, banyaknya Partai Politik dianggap tidak menjamin adanya stabilitas politik dan dianggap mengganggu program pembangunan. Usaha pemerintah ini baru terealisasi pada tahun 1973, partai yang diperbolehkan tumbuh hanya berjumlah tiga yaitu Partai Persatuan Pembangunan (PPP), GOLKAR dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI).
Pembangunan hukum selama masa Orde Baru secara nyata telah mengabaikan cita-cita dan tujuan didirikannya Negara Republik Indonesia sebagai negara hukum, dalam konstitusi UUD 1945 telah dinyatakan dengan jelas bahwa Negara Republik Indonesia adalah negara berdasar atas hukum (rechtsstaat), bukan negara berdasar atas kekuasaan (machtsstaat). Hukum dan seluruh pranata pendukungnya baik berupa peraturan pemerintah maupun peraturan daerah adalah dasar dan kerangka bagi proses penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara.
Hukum dan peraturan yang ada bukan sebagai alat untuk melanggengkan kekuasaan dan mengukuhkan kepentingan sekelompok orang yang berkuasa dan bukan pula alat dari suatu sistem yang cenderung mengabaikan demokrasi, keadilan, dan kesejahteraan rakyat Indonesia.
Selama masa Pemerintahan Orde Baru, program pokok dari pemerintah adalah membangun ekonomi yang ditopang oleh tiga jangkar yaitu stabilitas, pertumbuhan dan pemerataan, akan tetapi dalam praktik pemerintah sangat menekankan stabilitas dalam penerapan Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita) pada setiap periodenya. Stabilitas, pertumbuhan, dan pemerataan, dikenal sebagai Trilogi Pembangunan. Dalam kurun waktu 1970–1996, perekonomian meningkat rata-rata tujuh persen per tahun. Tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi selama masa pemerintahan Orde Baru menyebabkan penurunan kemiskinan yang signifikan. Indonesia beralih dari Negara miskin menjadi negara berpendapatan menengah.
Namun, pembangunan ekonomi yang berhasil ini tidak dibarengi dengan partisipasi politik, perlindungan hak asasi manusia, keadilan, dan transparansi dalam pembuatan keputusan publik.
Tidak banyak aturan hukum yang memihak kepada rakyat diciptakan, tetapi lebih banyak aturan hukum yang melindungi kepentingan penguasa dan pengusaha. Akibat dari politik pembangunan ini ada ketimpangan antara pemabangunan ekonomi dan pembangunan hukum. Pembangunan hukum selama masa Orde Baru digunakan sebagai alat penopang dan pengaman pembangunan nasional yang secara kasar telah direduksi hanya sebagai proses pertumbuhan ekonomi semata.
Sebuah perumpamaan yang sekilas sangat kasar, namun begitulah yang mungkin dirasakan , bahwa jika hukum yang berlaku tidak bisa memberikan payung pengayoman terutama kepada warga negaranya maka negara tidak lebih sebaga sebuah perampok yang terorganisir sebagaimana diungkapkan, Apa bedanya antara perampok dan negara?. Keduanya sama-sama menghisap uang rakyat, keduanya sama-sama bisa memaksa rakyat. Jika perampok adalah orang atau sekelompok orang yang mengambil kekayaan orang lain untuk diri mereka, sedangkan negara, terdiri dari kelompok orang yang mengambil pajak dari rakyat untuk kepentingan rakyat itu sendiri, atau minimal untuk kepentingan bersama. Logikanya, jika rakyat dihisap kekayaannya lewat berbagai pajak dan pungutan, terpaksa atau tidak terpaksa, dan kemudian uang itu oleh negara tidak dikembalikan kembali kepada rakyat, maka, niscaya negara tersebut juga sama saja dengan perampok, ialah perampok yang terorganisir .
Jika demikin yang terjadi maka Pranata-pranata hukum di masa tersebut lebih banyak dibangun dengan tujuan sebagai sarana legitimasi kekuasaan pemerintah, pemerintah dan aparatnya memilik kekuasaan mutlak, bukan hanya dalam mengelola dan mengarahkan tujuan pembangunan, tetapi juga memiliki kekuasaan dalam mengatur kehidupan social, budaya dan politik bangsa Indonesia .
Nampak sekali bahwa partai-partai yang ada di Indonesia boleh dikatakan merupakan partai yang dibentuk atas prakarsa negara. Pembentukan partai bukan atas dasar kepentingan masing-masing anggota melainkan karena kepentingan negara. Dengan kondisi partai seperti ini, sulit rasanya mengharapkan partai menjadi wahana artikulasi kepentingan rakyat. Baru setelah reformasi, pertumbuhan Partai Politik didasari atas kepentingan yang sama masing-masing anggotanya. Boleh jadi, Era Reformasi yang melahirkan sistem multi-partai ini sebagai titik awal pertumbuhan partai yang didasari kepentingan dan orientasi politik yang sama di antara anggotanya.
Kondisi yang demikian ini perlu dipertahankan, karena Partai Politik adalah alat demokrasi untuk mengantarkan rakyat menyampaikan artikulasi kepentingannya. Tidak ada demokrasi sejati tanpa Partai Politik. Meski keberadaan Partai Politik saat ini dianggap kurang baik, bukan berarti dalam sistem ketatanegaraan kita menghilangkan peran dan eksistensi Partai Politik. Keadaan Partai Politik seperti sekarang ini hanyalah bagian dari proses demokrasi.
Dalam kondisi kepartaian yang seperti ini, Pemilihan Umum 2004 digelar dengan bersandar kepada Undang-undang No. 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik. Dalam perjalanannya, undang-undang ini di anggap belum mampu mengantarkan sistem kepartaian dan demokrasi perwakilan yang efektif dan fungsional. Undang-undang ini juga belum mampu melahirkan Partai Politik yang stabil dan akuntabel. Masyarakat juga masih belum percaya pada keberadaan Partai Politik, padahal fungsi Partai Politik salah satunya adalah sebagai alat artikulasi kepentingan rakyat. Untuk menciptakan Partai Politik yang efektif dan fungsional diperlukan adanya kepercayaan yang penuh dari rakyat. Tanpa dukungan dan kepercayaan rakyat, Partai Politik akan terus dianggap sebagai pembawa ketidakstabilan politik sehingga kurang berkah bagi kehidupan rakyat.
Untuk menciptakan sistem politik yang memungkinkan rakyat menaruh kepercayaaan, diperlukan sebuah peraturan perundang-undangan yang mampu menjadi landasan bagi tumbuhnya Partai Politik yang efektif dan fungsional. Dengan kata lain, diperlukan perubahan terhadap peraturan perundang-undangan yang mengatur sistem Politik Indonesia yakni Undang-undang No. 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik, Undang-undang No. 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD, Undang-undang No. 23 tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, dan Undang-undang No. 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD dan DPRD.












C. MOMENTUM 10 TAHUN REFORMASI

Sepuluh tahun sudah momentum reformasi yang ditandai dengan mundurnya Suharto dan kursi presiden setelah bentahta 1,5 tahun pada kurun Pelita yang ke-7 menurut tarikh kekuasaan yang dibuatnya sendiri, dan realitas kehidupan berbangsa dan bernegara tidak juga beranjak lebih maju. Pasca-gerakan reformasi 1998, kehidupan sosial—politik menjadi riuh-rendah dan gegap gempita. Namun demikian, kehidupan sektor riil tidak beranjak maju.
Demokratisasi yang berkembang dengan gegap gempita, barulah memberikan angin sejuk bagi kaum cendekiawan yang sejak lama bosan dengan system otoritarian gaya Suharto yang telah mangangkangi perekonomian nasional selama 32 tahun dengan model oligarkhi. Demokratisasi yang dikembangkan pasca-reformasi meliputi 2 matra; yakni matra demokrasi prosedural atau formal yang berupa Pemilu yang lebih bebas (tanpa kelibatan militer dalam eskalasi pemilihan, mulai penjaringan calon sampai penetapan bakal calon legislatif), dan demokrasi partisipatif yang diletakan di matra pengambilan kebjakan eksekutit memunculkan proses eksperimentasi demokrasi yang sungguh mengasyikan.

Era reformasi muncul sebagai gerakan korektif dan pelopor perubahan-perubahan mendasar di berbagai aspek kehidupan. Gerakan reformasi yang melahirkan proses perubahan dan melengserkan pemerintahan orde baru dan melahirkan UU No. 3 Tahun 1999 tentang partai politik memungkinkan sistem multi partai kembali bermunculan.
Harapan peran partai sebagai wadah penyalur aspirasi politik akan semakin baik, meskipun hingga saat ini belum menunjukkan kenyataan. Hal ini terlihat dari kampanye Pemilu yang masih diwarnai banyaknya partai politik yang tidak mengaktualisasikan aspirasi rakyat dalam wujud program partai yang akan diperjuangkan.
Mirip dengan fenomena lama dimana yang ada hanya janji dan slogan-slogan kepentingan politik sesaat. Meskipun rezim otoriter telah berakhir dan keran demokrasi telah dibuka secara luas sejalan dengan bergulirnya proses reformasi.
Perkembangan demokrasi belum terarah secara baik dan aspirasi masyarakat belum terpenuhi secara maksimal. Aspirasi rakyat belum tertangkap, terartikulasi, dan teragregasikan secara transparan dan konsisten. Distorsi atas aspirasi, kepentingan, dan kekuasaan rakyat masih sangat terasa dalam kehidupan politik, baik distorsi yang datangnya dari elit politik, penyelenggara negara, pemerintah, maupun kelompok-kelompok kepentingan.
Di lain pihak, institusi pemerintah dan negara tidak jarang berada pada posisi yang seolah tidak berdaya menghadapi kebebasan yang terkadang melebihi batas kepatutan dan bahkan muncul kecenderungan yang mengarah anarchis walaupun polanya tidak melembaga dan lebih banyak bersifat kontekstual.
Namun demikian, sudahkah hasilnya dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat?
Demokrasi prosedural kita, sedemikian rupa telah menjelma menjadi sebuah teladan demokrasi delegatif yang dikuasai sepenuhnya oleh individu-individu wakil rakyat yang kita pilih metalui proses Pemilihan Umum. Sedangkan selebihnya, tidak diatur dengan baik bagaimana kelibatan masyarakat dalam proses-proses yang dilalui para wakil rakyat ketika mengatur kehidupan berbangsa dan bernegara.
Para wakil rakyat setelah terpilih dan duduk di kursi parlemen, di berbagai tingkatan, cenderung memerankan dirinya sebagai delegasi rakyat; yang memiliki kewenangan penuh untuk menentukan dan membuat keputusan tanpa perlu mendengarkan dan belajar (apalagi meminta pendapat dan persetujuan) dan rakyat yang diwakilinya. Faktor kepentingan individu dan kepentingan kelompok lalu menjadi penggerak yang lebih dominan di ranah proses pengambilan keputusan yang bertujuan untuk menjamin hajat hidup rakyat. Terutama menyangkut perencanaan anggaran pendapatan dan belanja (APBN/APBD).
Lolosnya undang-undang penanaman modal merupakan contoh terburuk dan pengembangan konsensus suara terbanyak yang menghasilkan keputusan terburuk bagi republik ini.
Sementara para politisi lain dari Dewan Perwakilan Daerah terkesan kian sibuk dengan Inilah bentuk deligitimasi dan demoralisasi politik yang menimpa dunia parlemen di negeri ini. Cermin dari wakil rakyat yang telah hilang keabsahan moral dan perannya selaku wakil rakyat, selain sekadar formalitas. Mereka bukan wakil rakyat yang berbuat untuk rakyat, tetapi sekadar bekerja untuk dirinya dengan mengatasnamakan rakyat. Itulah bentuk dari apa yang dikatakan Prof Syafii Maarif sebagai elite yang menjadikan politik sebagai mata pencaharian.
Tengoklah perilaku Qarun dan Firaun di zaman Nabi Musa. Tindakan Qabil membunuh saudara sekandungnya, Habil. Perbuatan putra-putra Nabi Ya'kub ketika menyingkirkan saudara terkecilnya, Yusuf alaihissalam. Anak dan istri Nabi Nuh. Tak perlu memberi contoh Hitler, para pemimpin Israel, dan siapa pun yang sewenang-wenang serta gila dunia yang memang tampa bingkai agama dan moral. Bahkan orang-orang yang hidup di sekitar Nabiyullah saja, ketika dihinggapi penyakit rakus dan cinta dunia yang melampaui takaran, maka lahirlah perbuatan-perbuatan dan tindakan-tindakan yang israf alias berlebihan.
Selalu ingin lebih dan lebih. Karena itu Tuhan pernah mengingatkan sekaligus menyindir orang-orang rakus dalam al-Takatsur: bermegah-megahan telah melalaikan kamu, sampai kamu masuk ke liang kubur (QS. Al-Takatsur/102: 1-2). Di lain ayat Allah melukiskan, manusia itu memiliki sifat, ketika diberi nikmat sombong diri, manakala diberi musibah merasa dihinakan Tuhan. Tak pernah ada rasa syukur dan qonaah.
Kita sungguh tidak tahu persis. Apakah musibah demi musibah yang menimpa bangsa ini salah satu sebabnya karena banyak para elite atau pemimpinnya yang terkena penyakit rakus dan kemudian lupa mengurus rakyatnya. Apakah urusan demi urusan bangsa ini tak terselesaikan bahkan di sana sini kian ruwet karena para elite dan pemimpin yang semestinya berkhidmat untuk sebesar-besarnya mengurus kepentingan bangsa dan negara, malah sibuk mengurus diri dan kelompoknya? Bahkan lebih jauh lagi, apakah semua krisis itu kian tak memperoleh pemecahan dan datang masalah-masalah baru karena di antara para pemangku kuasa di pemerintahan semakin banyak yang bukan saja melalaikan amanat rakyat, bahkan berbuat fasad (kerusakan) di muka bumi Nusantara tercinta ini.
Tak ada salahnya untuk berkaca diri. Nabi pernah bersabda, "barangsiapa pemimpin yang mengabaikan urusan umatnya, maka tunggulah kehancurannya, dan tiada tempat bagi mereka kecuali neraka jahanam". Allah bahkan berfirman: "Dan jika Kami hendak membinasakan suatu negeri, maka Kami perintahkan kepada orang-orang yang hidup mewah di negeri itu (supaya mentaati Allah) tetapi mereka melakukan kedurhakaan dalam negeri itu, maka sudah sepantasnya berlaku terhadapnya perkataan (ketentuan Kami), kemudian Kami hancurkan negeri itu sehancur-hancurnya." (QS. Al-Isra/17: 16). Bangsa dan negara hancur karena semakin banyak orang yang hidup bermewah-mewahan (al-mutrafun), sedangkan para pemimpinnya mengabaikan urusan rakyat yang dipimpinnya.
















D. KESIMPULAN

Di samping keberhasilan yang telah dicapai pada masa lalu, harus diakui pula masih banyak pekerjaan rumah yang belum sempat terselesaikan terutama tercermin pada belum ptimalnya peran partai politik dalam peningkatan partisipasi politik masyarakat khususnya peran sebagai wadah penyalur aspirasi politik, sarana sosialisasi politik, sarana rekrutmen, dan sarana pengatur konflik, dan hal tersebut telah sedikit banyak telah bisa terealisasikan di era reformasi yang dimuai sejak gerakan reformasi di tahun 1998.
Dalam rangka untuk mengoptimalkan peran partai politik tersebut telah disampaikan konsepsi penguatan peran partai politik dalam peningkatan partisipasi politik masyarakat, ntara lain melalui pembangunan sistem kehidupan yang demokratis dan stabil yang dijabarkan dalam strategi pengembangan partisipasi politik masyarakat dan pembenahan mekanisme hubungan antar komponen dalam sistem politik; dan dalam implementasinya diwujudkan dalam bentuk upaya restrukturisasi, refungsionalisasi, dan revitalisasi partai politik dan berbagai aspek yang terkait.
Untuk menjamin berjalannya peran partai politik dalam peningkatan partisipasi politik masyarakat secara optimal, diperlukan keselarasan dan keseimbangan hubungan antar kekuatan sosial politik dan keseimbangan serta keselarasan peran partai politik itu sendiri baik sebagai wadah penyalur aspirasi rakyat, sarana sosialisasi politik, sarana rekrutmen politik, maupun sebagai sarana pengatur konflik. Hal yang terakhir ini perlu digaris bawahi karena keempat peran tersebut pada hakikatnya saling terkait dan bersifat saling mendukung satu dengan yang lain.









DAFTAR PUSTAKA

1. Adam E Everett and Ronald J.E. Bert, dari “ Production & Operation Management” Halaman 215, Prentice Inc, Englewood, 1986
2. Anne Booth:2001, Pembangunan: Keberhasilan dan Kekurangan, dalam Donald K. Emerson, Indonesia Beyond Soeharto: Negara, Ekonomi, Masyarakat, Transisi, Gramedia Pustaka Utama, h. 191.
3. Ghufran, M. Kordi K, 2007. Ironi Pembangunan (Beberapa Catatan Kritis dan Refleksi). Jakarta Timur: PT Perca
4. Haedar Nashir, Pornoaksi, Harian Umum Republika, 26 Februari 2007.
5. Loekman Soetrisno: 1997, Beberapa Faktor Dalam dan Luar Negeri yang Berpengaruh pada kelestarian Pembangunan di Indonesia, dalam Loekman Soetrisno,Demokratisasi Ekonomi & Pertumbuhan Politik, Penerbit Kanisius, h. 172.
6. Salman Luthan dan Agus Triyanta Agar Negara tidak Menjadi Perampok Terorganisasi (Jawa Pos, Januari 2008)


Daftar Internet

1. WWW.mas’admasrur.Com, Peran Partai Politik, Diakses 29 September 2009, 13.34 WIB.
2. Wakil Rakyat Atau Wakil Kepentingan Partai, www.tranparansi.or.id , aksesn 25 September 2009, 13.33 WIB