Rabu, 04 Mei 2011

http://www.krjogja.com/news/detail/18808/Eksekutif.Sepakat.Lanjutkan.Pembahasan.Raperda.Pendidikan.html

Eksekutif Sepakat Lanjutkan Pembahasan Raperda Pendidikan
Kamis, 04 Pebruari 2010 20:24:00
Ketua Komisi D DPRD Sleman, Arif Kurniawan. (Foto : Angelia Dewi Candra)

SLEMAN (KRjogja.com) - Pihak eksekutif sepakat melanjutkan pembahasan Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) tentang pendidikan. Selama ini eksekutif beralasan Raperda tersebut tidak bisa diteruskan karena dikhawatirkan berbenturan dengan aturan yang ada di atasnya. Namun mengacu dari hasil kunjungan dewan ke Semarang, ternyata di kota tersebut Perda pendidikan bisa diaplikasikan.

Menurut Ketua Komisi D Arif Kurniawan, Perda kota Semarang No 1 Tahun 2007 tentang Penyelenggaraan pendidikan, secara konseptual tidak beda jauh dengan Raperda pendidikan yang digagas oleh DPRD Sleman. “Selama ini mungkin eksekutif enggan untuk membahasnya hanya karena Raperda tersebut merupakan inisiatif dewan. Akhirnya mereka mencari alasan soal kekhawatiran bertentangan dengan aturan di atasnya,” ujar Arif di DPRD Sleman, Kamis (4/2).

Arif mengatakan, setelah mengadakan pertemuan dengan eksekutif yang berlangsung hari ini (4/2), pihaknya melihat adanya itikad baik dari eksekutif untuk menindaklanjuti Raperda Pendidikan. Dari hasil pertemuan tersebut, kedua pihak sepakat untuk melanjutkan pembahasan ke tingkat yang lebih tinggi.

“Sejauh ini kami juga telah mencoba menginventarisasi semua materi-materi yang dianggap sudah up to date lagi. Terkait soal kekhawatiran, tampaknya memang harus dihilangkan demi kemajuan pendidikan Sleman,” ujarnya.

Dari pertemuan tersebut, lanjut Arif, ada banyak perkembangan positif yang diperoleh. Kedua pihak telah sepakat untuk membenahi materi yang sebelumnya sudah pernah dibahas. Nantinya materi yang dibahas akan lebih difokuskan pada hal-hal yang lebih spesifik.

“Selama ini yang kami tangkap ada dua hal yang menjadi keberatan eksekutif yakni soal pembiayaan GTT/PTT dan standarisasi guru-guru sekolah swasta. Selain itu, kami juga ingin memasukkan materi spesifik misalnya saja tentang kurikulum khas Sleman misalnya membahas tentang potensi yang dimiliki Sleman,” imbuhnya.

Dikatakan Arif, pembahasan Raperda ini akan kembali dimulai dua minggu lagi dengan catatan langsung melewati tahap tiga. Pasalnya, Raperda inisiatif ini tidak perlu dibahas lagi dari awal karena secara substansial sudah tidak ada lagi yang menjadi masalah. Meskipun Raperda ini telah menjadi pembahasan sejak 2007 silam. (Angelia)

UN 2011: 56 Siswa Sleman Tak ikut UAN hari ke 2

UN 2011: 56 Siswa Sleman Tak ikut UAN hari ke 2
Posted on April 20th, 2011
http://yogyaonline.net/blog/un-2011-56-siswa-sleman-tak-ikut-uan-hari-ke-2.html

0Share
SLEMAN: Pada hari kedua pelaksanaan Ujian Akhir Nasional SMA/SMK/MA, tercatat ada 56 peserta UAN di wilayah Sleman yang tak datang mengikuti agenda nasional tersebut. Masing-masing, SMA/MA sebanyak 30 siswa dan SMK 26 siswa. Di hari pertama juga tercatat ada 59 siswa yang tak ikut UAN.

Seperti di kutip dari harian jogja Selasa (19/04/11).Kasi Kurikulum SMA/SMK Disdikpora Sleman mengungkapkan “yang tidak ikut ujian paling banyak dari SMK Muhammdiyah Cangkringan, ada enam siswa. Kalau yang absen memang ada berbagai alasan. Ada yang mengaku sudah lulus paket C, ada yang menikah, bekerja, tapi ada juga yang izin,”. Bagi siswa yang mengajukan izin, lanjutnya, yang bersangkutan akan diikutsertakan dalam UAN susulan minggu depan.
Ditemui terpisah, Ketua Komisi D DPRD Sleman, Arif Kurniawan mengatakan, pihaknya menilai sejauh ini pelaksanaan UAN di Sleman cukup lancar. Dari pantauan selama dua hari pelaksanaan, pihaknya belum menemukan kendala atas pelaksanaan UAN. Jumlah peserta UAN di Sleman kali ini sebanyak 4.429 dari SMA dan 5.924 dari SMK

SERBUAN TOKO MODERN MENGANCAM PASAR TRADISIONAL

SERBUAN TOKO MODERN MENGANCAM PASAR TRADISIONAL
Rabu, 04 Mei 2011
http://www.komisikepolisianindonesia.com/secondPg.php?cat=ragam&id=3255

SERBUAN TOKO MODERN MENGANCAM PASAR TRADISIONAL

SLEMAN (KRjogja.com) - Keberadaan pasar traditional di Kabupaten Sleman semakin terancam. Pasalnya, toko modern yang berjaringan nasional hingga international kini mulai merangsek ke areal pasar traditional.

Dijelaskan Sekretaris Komisi A DPRD Sleman, Martono SIP, ada 3 warga di wilayah Depok yang sudah mengadu mengenai kegelisahan pasar traditional tersebut. "Warga mengadu kepada kami, meminta supaya pasar traditional jangan sampai mati. Terbukti, jika pasar traditional selama ini merupakan penyangga ekonomi kerakyatan," ungkapnya saat dikonfirmasi KRjogja.com, Rabu (4/5).

Pada kesempatan tersebut, lanjut Martono, warga juga menolak pembangunan 2 toko modern di wilayah mereka. Dikhawatirkan, pesatnya toko berjejaring yang berdekatan dengan toko traditional, akan semakin mempercepat kematian pasar traditional. "Banyaknya penolakan warga mengenai pendirian toko modern ini seharusnya mampu menggugah pemerintah daerah untuk menyelesaikannya secara bijak. Kami juga sudah meninjau rencana pembangunan 2 toko modern yang ditolak warga itu, yakni di Dusun Prayan Kulon, Depok, Sleman," imbuhnya.

Oleh karena itu, pihaknya mengusulkan kepada jajaran eksekutif untuk segera membuatkan perda khusus mengenai toko modern. Sejauh ini, Pemda Sleman memang sudah mengeluarkan Peraturan Bupati (Perbup), terkait hal ini. Namun, kekuatan hukumnya masih belum cukup kuat untuk membatasi penyebaran toko modern. "Harus diperkuat dengan perda. Kalau kebijakannya lemah, maka 10 tahun mendatang, toko dan pasar traditional akan tinggal kenangan," tandas Martono.

Perbup yang sudah ada ialah Perbup Nomor 13 Tahun 2010 tentang Penataan Lokasi Toko Modern dan Pusat Perbelanjaan, serta Perbup Nomor 45 Tahun 2010 tentang Perizinan Pusat Perbelanjaan dan Toko Modern. Dalam Perbup tersebut dijelaskan, mengenai jarak minimal pendirian toko modern, yakni 500 meter dari toko tradisional atau 1.000 meter dari pasar tradisional. "Pemda Sleman juga harus merazia toko modern yang berdekatan dengan toko dan pasar traditional. Semua harus dikembalikan ke peraturan," tegas Martono. (Ngutip KRjogja.com)

Rabu, 27 April 2011

Regulasi Pemondokan Perlu dipertegas

http://jogjainfo.net/regulasi-pemondokan-perlu-dipertegas.html

DEPOK: Regulasi mengenai pemondokan (kos-kosan) di Kecamatan Depok perlu dipertegas. Jika tidak ada aturan yang tegas maka dikhawatirkan hal itu akan memberikan dampak yang negatif terutama masalah sosial kepada masyarakat setempat. Anggota DPRD Sleman Martono mengatakan, sebenarnya Sleman sudah memiliki peraturan daerah (perda) yang mengatur pemondokan yakni Perda No 9/2007.

Namun sayangnya perda inisiatif Dewan tersebut hingga saat ini belum ditindaklanjuti dengan penerbitan peraturan bupati (perbup). “Disitulah permasalahannya. Per da kan hanya mengatur hal-hal yang umum saja, sementara untuk teknis diatur dalam perbup. Tanpa ada perbup maka perda belum bisa diaplikasikan secara maksimal,” ungkap anggota DPRD dari Daerah Pemilihan (Dapil) III (Depok) kepada Harian Jogja, Jumat (12/3).

Martono melihat bahwa selama ini ada kecenderungan para pemilik pondokan hanya berpikir dari segi ekonomisnya saja namun tidak memperhatikan dampak negatif yang ditimbulkan. Tanpa adanya penataan yang serius, kata dia, permasalahan itu akhirnya akan bermuara pada kesemrawutan kependudukan di Kecamatan Depok. “Harus ada penataan yang serius dan benar-benar bisa ditaati karena dampaknya cukup dirasakan.

Sebagian pemilik pondokan cenderung cuek dengan aturan yang sudah ada dan cenderung hanya berpikir dari sisi ekonomis saja,” ungkap legislator PAN ini. Dari Perda No 9/2007 setidaknya ada tiga hal yang masih perlu ditindaklanjuti dengan juklak (petunjuk pelaksanaan) dan juknis (petunjuk teknis) oleh eksekutif yakni tentang standar fasilitas pemondokan, Sanksi bagi penyelenggara pemondokan yang telah memiliki izin dan sanksi bagi penyelenggara pemondokan yang tidak memiliki izin.

Martono mengatakan, keberadaan pemondokan memberikan pengaruh pada nilai-nilai sosial budaya bagi warga setempat karena menawarkan pola-pola hidup yang baru. Yang paling penting, kata dia, permasalahan soal kebebasan di pemondokan juga harus dipertegas. “Memang ada dampak positif yang ditimbulkan keberadaan koskosan, namun negatifnya pun tak kalah banyak. Keberadaannya memang memberikan peluang kepada warga, tapi juga harus dipikirkan mengenai efek sampingnya,” kata Martono.

Kasie Penegakan Perundang-undangan Kantor Satuan Polisi Pamong Projo (Satpol PP) Ignatius Sunarto mengatakan, Perda pemondokan tergolong sebagai Perda yang mengambang karena belum memiliki perbup. “Siapa yang ditunjuk untuk mengeluarkan izin dan instansi apa sebagai leading sector penindakannya belum jelas.

Karena itu kami masih ragu dalam melakukan penindakan secara tegas karena takutnya jadi bumerang bagi kami,” ungkap dia. Menurut Sunarto, seharusnya Perda tersebut ditindaklanjuti dengan aturan teknis untuk beberapa masalah seperti pembagian kos putra atau putri, jam bertamu, atau juga klasifikasi pemondokan. Tanpa adanya kejelasan, kata dia, Pol PP akan kesulitan.

“Paling selama ini yang disoroti hanya sebatas izin HO saja, sementara untuk teknis lainnya belum pernah ditegakkan. Kami berharap agar Bagian Hukum Setda Sleman segera menerbitkan perbup,” ungkap dia.(sig)

PERBUB SLEMAN BELUM OPTIMAL LINDUNGI PASAR TRADISIONAL

http://www.lepmida.com/news_irfan.php?id=38239&sub=news&page=
Jumat, 22 April 2011
Oleh: Febi

foto : bd-ant

(Berita Daerah - Jawa) - Peraturan Bupati Sleman Nomor 13 dan 45 Tahun 2010 tentang Pengaturan Toko Modern di Sleman dinilai belum berfungsi optimal dalam menjaga keberadaan toko kecil dan pasar tradisional.

"Harus ada peraturan daerah (perda) yang tegas mengatur keberadaan toko modern, dan lebih melindungi toko kecil serta pasar tradisional, dan tidak cukup hanya dengan peraturan bupati (perbub)," kata Sekretaris Komisi A DPRD Kabupaten Sleman Martono, di Sleman, Jumat.

Menurut dia, keberadaan toko kecil milik masyarakat serta pasar traditional selama ini menjadi simbol perekonomian kerakyatan.

"Oleh karena itu, dibutuhkan peraturan yang lebih kuat lagi, yakni semacam perda untuk toko modern. Jika pengaturan lemah, maka jangka waktu lima hingga 10 tahun mendatang akan ada masalah ekonomi kerakyatan," katanya.

Ia mengatakan pemilik toko modern juga diminta tidak melakukan rekayasa dalam pengajuan prosedur perizinan, khususnya perizinan persetujuan lingkungan.

"Pernah terjadi kasus, yakni ada pertemuan sosialisasi toko modern dengan warga, kemudian absensi kehadiran warga itu digunakan sebagai persetujuan lingkungan. Ini namanya rekayasa perizinan," katanya.

Martono mengatakan terkait munculnya sejumlah penolakan masyarakat terhadap pendirian toko modern diharapkan bisa menggugah Pemerintah Kabupaten Sleman untuk menyelesaikan masalah itu secara arif.

"Kami sudah meninjau rencana pendirian dua toko modern yang ditolak warga. Dari segi perbup, memang tidak sesuai aturan. Kalau dikembalikan ke peraturan, maka pasti langsung selesai," katanya.

Ia mengatakan kebutuhan perda tentang toko modern sangat mendesak, namun yang lebih penting ialah segala perizinan harus dilakukan sesuai prosedur.

"Kalau sesuai prosedur, maka silakan, tetapi jangan toko modern didirikan berdekatan dengan toko milik masyarakat dan pasar tradisional," katanya.

Pemda Sleman menerbitkan Perbup Nomor 13 Tahun 2010 tentang Penataan Lokasi Toko Modern dan Pusat Perbelanjaan, serta Perbup Nomor 45 Tahun 2010 tentang Perizinan Pusat Perbelanjaan dan Toko Modern.

Dalam perbup itu dijelaskan mengenai jarak minimal pendirian toko modern, yakni 500 meter dari toko tradisional, atau 1.000 meter dari pasar tradisional.

(fb/FB/bd-ant)

25 AGUSTUS HARI PERUMAHAN NASIONAL ; Reformasi Bidang Perumahan

http://www.kr.co.id/web/detail.php?sid=223439&actmenu=39

27/08/2010 04:52:05 Pencanangan tanggal 25 Agustus sebagai hari Perumahan Nasional dilaksanakan oleh Menpera dalam pidato menyambut hari Perumahan tahun 2009. Tanggal ini diambil dari momentum Pidato Bung Hatta pada Kongres Perumahan Sehat di Bandung, 25 Agustus 1950.
Jika dilihat dari potensi yang dimiliki oleh masing-masing komponen, pemerintah punya kewenangan membuat regulasi, swasta punya kekuatan dana, masyarakat punya kekuatan gotong-royong, dan fasilitator punya kekuatan membangun keterpaduan dan sinergitas antar komponen. Permasalahannya adalah, bagaimana kita dapat membangun sinergitas terhadap potensi yang ada tersebut.
Belajar dari pengalaman di lapangan, sesungguhnya peran serta masyarakat dalam pembangunan perumahan swasta sudah dilaksanakan. Hal ini dapat kita cermati dari berbagai program yang ada. Diawali pada sekitar tahun 1990 dengan Program Pembangunan Perumahan Bertumpu pada Kelompok (P2BPK) yang diluncurkan oleh Menteri Perumahan Rakyat Ir Akbar Tanjung. Masalah yang dihadapi pada waktu itu adalah, belum adanya sistem kelembagaan yang ada, jaringan belum dibangun, tidak ada program riil yang dipakai sebagai “centelan”, sehingga program tersebut tidak ada keberlanjutannya. Faktor penyebab yang lain adalah belum adanya pemberdayaan untuk fasilitator. Pada perkembangannya, oleh Menteri Perumahan dan Permukiman, Ibu Erna Witular, dibentuk program baru dengan nama program Co-Bild (Community Base for Initiative Local Development Program/Program Pembangunan Perumahan Berdasar pada Komunitas). Program ini dibentuk pada awal 2001, dan di launching pada Juni 2001 untuk 12 kabupaten dan 1 provinsi (DIY), namun dalam perjalanannya, sampai sekarang, tinggal Provinsi DIY yang masih eksis. Lagi-lagi salah satu faktor penyebabnya adalah kurangnya upaya pemberdayaan untuk fasilitatornya, walaupun jika dikaji lebih cermat banyak faktor yang berpengaruh.
Banyak pembelajaran yang dapat diambil dari “kebersihan dan/kegagalan” dari program ini, salah satunya adalah bahwa, keberhasilan program itu ditentukan oleh sistem aturan yang didukung oleh sistem kelembagaan yang terencana matang, sehingga sistem tersebut dapat menjamin kemudahan mekanisme teknis pelaksanaan, dan kemudahan mekanisme kontrolnya. Di samping itu sistem tersebut harus dikawal oleh sumber daya manusia yang andal.
Kekuatan yang dimiliki program Co-Bild DIY, salah satunya adalah obligasi moral dari person yang duduk di jajaran Presidium Paguyuban Warga Jogja (Pawarta), Dewan Perumahan Permukiman (DPP), dan Badan Pengelola Dana (BPD). Pawarta, berperan sebagai Payung Hukum Program Co-Bild, dan mengawasi kinerja DPP, tugas DPP menunjuk pelaksana, membuat kebijakan dan mengawasi program Co-Bild dan sebagai fasilitator bagi pihak ketiga, sedangkan BPD sebagai pengelola progran Co-Bild yang bersifat profesional.
Dari uraian di atas, sesungguhnya embrio terbentuknya fasilitator di tingkat provinsi sudah ada (baca: DPP), tinggal kemauan politik dari para stakeholders yang ada (baca: Pemerintah/ Dinas Perumahan Provinsi DIY, Perguruan Tinggi, Koperasi Perumahan, Lembaga Swadaya Masyarakat, Kelompok Swadaya Masyarakat), untuk duduk bersama membentuk atau memberdayakan fasilitator yang sudah ada, sehingga dari Yogya kita dorong terbentuknya DPP tingkat nasional. Setelah terbentuk DPP tingkat nasional, pekerjaan rumah selanjutnya adalah road show untuk pembentukan fasilitator (DPP) di masing-masing provinsi. Belajar dari lembaga lain (baca: Dewan Kerajinan Nasional, Dewan Kesenian, Dewan Kebudayaan dan lain-lain), semua didukung dengan payung hukum yang legal formal.
Strategi pembentukan Dewan Perumahan Permukiman yang akan berfungsi sebagai fasilitator di tingkat provinsi sampai nasional, perlu dibentuk forum perumahan (housing forum), yang akan membahas berbagai masalah yang dibutuhkan dalam pembentukan dewan ini, mulai dari aspek hukum, kelembagaan, aturan sampai teknis pelaksanaannya.
Kata kunci dari semua pembahasan ini adalah pemberdayaan untuk semua. Jika dan hanya jika ada komitmen yang dapat dibangun bersama untuk saling memberdayakan bagi seluruh stakeholders dan diimbangi dengan konsistensi terhadap komitmen tersebut, maka solusi masalah perumahan Indonesia bukan sesuatu yang mustahil, sebagai realisasi reformasi jilid dua dalam bidang perumahan. Insya Allah. q - c. (1541-2010).
*) Ir Noor Sasongko MSA,
Ketua Dewan Perumahan Permukiman
2005-2009, Ketua Badan Kehormatan
DPRD Sleman 2009-sekarang.

Minggu, 24 April 2011

Pengungsi Merapi Keberatan PMI Hentikan Pasokan Air

http://www.tempointeraktif.com/hg/kesra/2011/03/14/brk,20110314-319938,id.html

TEMPO Interaktif, Sleman - Warga korban erupsi Merapi menyatakan keberatan atas rencana Palang Merah Indonesia menghentikan dropping air ke warga pengungsi, Selasa pekan depan. Jika rencana tersebut direalisasikan kebutuhan air bersih di lereng Merapi terancam kesulitan.

“Kebutuhan air warga di lereng Merapi saat ini masih mengandalkan dropping air. Karena pasokan dari perusahaan air minum belum pasti kapan bisa mengalirkan air dari sumber di lereng Merapi karena kondisi alam,” kata Camat Pakem, Sleman, Budiharjo, Senin (14/3).


Saat ini banyak bantuan paralon dari orangisasi swasta maupun perorangan, namun belum bisa dilakukan penyambungan ke sumber air guna mencukupi kebutuhan warga. Sebab, kondisi jalur ke sumber air di Umbul Wadon atau Umbul Lanang masih kerap terkena banjir lahar dingin.

Selain warga yang berada di daerah terdampak erupsi Merapi, perhotelan dan penginapan di sekitar gunung itu juga masih membeli air. Harga air juga cukup tinggi, untuk satu tangki air berisi lima ribu liter, harganya mencapai Rp 100 ribu hingga Rp 120 ribu.


Rencananya, Palang Merah Indonesia akan menghentikan pasokan air ke para pengungsi dan warga di lereng Merapi pada 23 Maret 2011 mendatang. Dropping air akan dilanjutkan oleh pihak Dinas Pekerjaan Umum dan Pembangunan, dengan 8 truk tangki yang dipunyai. Namun diperkirakan jumlah itu belum mencukupi kebutuhan warga. Karena sebelumnya Palang Merah Indonesia mengirim 70 tangki setiap hari ke lokasi.


Menurut Urip Bahagia, Pelaksana Tugas Badan penanggulanan Bencana Daerah Kabupaten Sleman, masalah air bagi warga di lereng Merapi masih dalam pembahasan. Pihaknya berencana meminta perpanjangan dropping dari Palang Maerah Indonesia. Jika tidak berhasil, akan berkoordinasi dengan instansi terkait untuk menyediakan kebutuhan air bersih ini.

“ Kami akan mengupayakan ketersediaanya, baik untuk yang mengungsi, maupun yang tinggal di shelter dan sekitarnya,” kata Urip.

Jumlah warga lereng Merapi dan masih mengandalkan pasokan air lebih dari 20 ribu jiwa, tersebar di kecamatan Cangkringan, Pakem, Turi maupun Tempel.


Saat ini, sedikitnya 2.200 pengungsi Merapi masih berada di barak pengungsian. Terutama di di desa Kepuharjo sebanyak 2000 jiwa dan di desa Wukirsari sebanyak 200-an pengungsi.

Seluruh fraksi DPRD Sleman beberapa waktu lalu menyepakati Keberadaan Badan Penanggulangan Bencana Daerah kabupaten Sleman secara mandiri. Sebelumnya lembaga ini masih dikelola oleh Dinas Kesatuan Bangsa dan Perlindungan Masyarakat. Dengan terbentuknya badan itu pekerjaan penanganan bencana lebih optimal dan maksimal.

“Semua fraksi sependapat, Badan Penanggulangan Bencana Daerah berdiri sendiri, sebab kebutuhannya sangat mendesak,” kata Wakil Ketua DPRD Sleman, Rohman Agus Sukamto.

MUH SYAIFULLAH