Senin, 04 Oktober 2010

Penguatan Peran Partai Politik Di Era Reformasi Dalam Sistem Politik Indonesia

Penguatan Peran Partai Politik Di Era Reformasi

Dalam Sistem Politik Indonesia
Arief Hartanto, SE
A. PENDAHULUAN

Sejarah perkembangan partai politik di Indonesia sangat mewarnai perkembangan demokrasi di Indonesia. Hal ini sangat mudah dipahami, karena partai politik merupakan gambaran wajah peran rakyat dalam percaturan politik nasional atau dengan kata lain merupakan cerminan tingkat partisipasi politik masyarakat.
Romantika kehidupan partai politik sejak kemerdekaan, ditandai dengan bermunculannya banyak partai (multi partai). Secara teoritikal, makin banyak partai politik memberikan kemungkinan yang lebih luas bagi rakyat untuk menyalurkan aspirasinya dan meraih peluang untuk memperjuangkan hak-haknya serta menyumbangkan kewajibannya sebagai warga negara.
Banyaknya alternatif pilihan dan meluasnya ruang gerak partisipasi rakyat memberikan indikasi yang kuat bahwa sistem pemerintahan di tangan rakyat sangat mungkin untuk diwujudkan.
Sistem politik Indonesia telah menempatkan Partai Politik sebagai pilar utama penyangga demokrasi. Artinya, tak ada demokrasi tanpa Partai Politik. Karena begitu pentingnya peran Partai Politik, maka sudah selayaknya jika diperlukan sebuah peraturan perundang-undangan mengenai Partai Politik. Peraturan perundang-undangan ini diharapkan mampu menjamin pertumbuhan Partai Politik yang baik, sehat, efektif dan fungsional.
Pentingnya keberadaan Partai Politik dalam menumbuhkan demokrasi harus dicerminkan dalam peraturan perundang-undangan. Seperti diketahui hanya Partai Politik yang berhak mengajukan calon dalam Pemilihan Umum. Makna dari ini semua adalah, bahwa proses politik dalam Pemilihan Umum (Pemilu), jangan sampai mengebiri atau bahkan menghilangkan peran dan eksistensi Partai Politik. Kalaupun saat ini masyarakat mempunyai penilaian negatif terhadap Partai Politik, bukan berarti lantas menghilangkan eksistensi partai dalam sistem ketatanegaraan. Semua yang terjadi sekarang hanyalah bagian dari proses demokrasi.


B. BERKACA DARI SEJARAH SISTEM POLITIK INDONESIA
Memasuki periode Orde Baru, tepatnya setelah Pemilihan Umum 1971 pemerintah kembali berusaha menyederhanakan Partai Politik. Seperti pemerintahan sebelumnya, banyaknya Partai Politik dianggap tidak menjamin adanya stabilitas politik dan dianggap mengganggu program pembangunan. Usaha pemerintah ini baru terealisasi pada tahun 1973, partai yang diperbolehkan tumbuh hanya berjumlah tiga yaitu Partai Persatuan Pembangunan (PPP), GOLKAR dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI).
Pembangunan hukum selama masa Orde Baru secara nyata telah mengabaikan cita-cita dan tujuan didirikannya Negara Republik Indonesia sebagai negara hukum, dalam konstitusi UUD 1945 telah dinyatakan dengan jelas bahwa Negara Republik Indonesia adalah negara berdasar atas hukum (rechtsstaat), bukan negara berdasar atas kekuasaan (machtsstaat). Hukum dan seluruh pranata pendukungnya baik berupa peraturan pemerintah maupun peraturan daerah adalah dasar dan kerangka bagi proses penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara.
Hukum dan peraturan yang ada bukan sebagai alat untuk melanggengkan kekuasaan dan mengukuhkan kepentingan sekelompok orang yang berkuasa dan bukan pula alat dari suatu sistem yang cenderung mengabaikan demokrasi, keadilan, dan kesejahteraan rakyat Indonesia.
Selama masa Pemerintahan Orde Baru, program pokok dari pemerintah adalah membangun ekonomi yang ditopang oleh tiga jangkar yaitu stabilitas, pertumbuhan dan pemerataan, akan tetapi dalam praktik pemerintah sangat menekankan stabilitas dalam penerapan Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita) pada setiap periodenya. Stabilitas, pertumbuhan, dan pemerataan, dikenal sebagai Trilogi Pembangunan. Dalam kurun waktu 1970–1996, perekonomian meningkat rata-rata tujuh persen per tahun. Tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi selama masa pemerintahan Orde Baru menyebabkan penurunan kemiskinan yang signifikan. Indonesia beralih dari Negara miskin menjadi negara berpendapatan menengah.
Namun, pembangunan ekonomi yang berhasil ini tidak dibarengi dengan partisipasi politik, perlindungan hak asasi manusia, keadilan, dan transparansi dalam pembuatan keputusan publik.
Tidak banyak aturan hukum yang memihak kepada rakyat diciptakan, tetapi lebih banyak aturan hukum yang melindungi kepentingan penguasa dan pengusaha. Akibat dari politik pembangunan ini ada ketimpangan antara pemabangunan ekonomi dan pembangunan hukum. Pembangunan hukum selama masa Orde Baru digunakan sebagai alat penopang dan pengaman pembangunan nasional yang secara kasar telah direduksi hanya sebagai proses pertumbuhan ekonomi semata.
Sebuah perumpamaan yang sekilas sangat kasar, namun begitulah yang mungkin dirasakan , bahwa jika hukum yang berlaku tidak bisa memberikan payung pengayoman terutama kepada warga negaranya maka negara tidak lebih sebaga sebuah perampok yang terorganisir sebagaimana diungkapkan, Apa bedanya antara perampok dan negara?. Keduanya sama-sama menghisap uang rakyat, keduanya sama-sama bisa memaksa rakyat. Jika perampok adalah orang atau sekelompok orang yang mengambil kekayaan orang lain untuk diri mereka, sedangkan negara, terdiri dari kelompok orang yang mengambil pajak dari rakyat untuk kepentingan rakyat itu sendiri, atau minimal untuk kepentingan bersama. Logikanya, jika rakyat dihisap kekayaannya lewat berbagai pajak dan pungutan, terpaksa atau tidak terpaksa, dan kemudian uang itu oleh negara tidak dikembalikan kembali kepada rakyat, maka, niscaya negara tersebut juga sama saja dengan perampok, ialah perampok yang terorganisir .
Jika demikin yang terjadi maka Pranata-pranata hukum di masa tersebut lebih banyak dibangun dengan tujuan sebagai sarana legitimasi kekuasaan pemerintah, pemerintah dan aparatnya memilik kekuasaan mutlak, bukan hanya dalam mengelola dan mengarahkan tujuan pembangunan, tetapi juga memiliki kekuasaan dalam mengatur kehidupan social, budaya dan politik bangsa Indonesia .
Nampak sekali bahwa partai-partai yang ada di Indonesia boleh dikatakan merupakan partai yang dibentuk atas prakarsa negara. Pembentukan partai bukan atas dasar kepentingan masing-masing anggota melainkan karena kepentingan negara. Dengan kondisi partai seperti ini, sulit rasanya mengharapkan partai menjadi wahana artikulasi kepentingan rakyat. Baru setelah reformasi, pertumbuhan Partai Politik didasari atas kepentingan yang sama masing-masing anggotanya. Boleh jadi, Era Reformasi yang melahirkan sistem multi-partai ini sebagai titik awal pertumbuhan partai yang didasari kepentingan dan orientasi politik yang sama di antara anggotanya.
Kondisi yang demikian ini perlu dipertahankan, karena Partai Politik adalah alat demokrasi untuk mengantarkan rakyat menyampaikan artikulasi kepentingannya. Tidak ada demokrasi sejati tanpa Partai Politik. Meski keberadaan Partai Politik saat ini dianggap kurang baik, bukan berarti dalam sistem ketatanegaraan kita menghilangkan peran dan eksistensi Partai Politik. Keadaan Partai Politik seperti sekarang ini hanyalah bagian dari proses demokrasi.
Dalam kondisi kepartaian yang seperti ini, Pemilihan Umum 2004 digelar dengan bersandar kepada Undang-undang No. 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik. Dalam perjalanannya, undang-undang ini di anggap belum mampu mengantarkan sistem kepartaian dan demokrasi perwakilan yang efektif dan fungsional. Undang-undang ini juga belum mampu melahirkan Partai Politik yang stabil dan akuntabel. Masyarakat juga masih belum percaya pada keberadaan Partai Politik, padahal fungsi Partai Politik salah satunya adalah sebagai alat artikulasi kepentingan rakyat. Untuk menciptakan Partai Politik yang efektif dan fungsional diperlukan adanya kepercayaan yang penuh dari rakyat. Tanpa dukungan dan kepercayaan rakyat, Partai Politik akan terus dianggap sebagai pembawa ketidakstabilan politik sehingga kurang berkah bagi kehidupan rakyat.
Untuk menciptakan sistem politik yang memungkinkan rakyat menaruh kepercayaaan, diperlukan sebuah peraturan perundang-undangan yang mampu menjadi landasan bagi tumbuhnya Partai Politik yang efektif dan fungsional. Dengan kata lain, diperlukan perubahan terhadap peraturan perundang-undangan yang mengatur sistem Politik Indonesia yakni Undang-undang No. 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik, Undang-undang No. 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD, Undang-undang No. 23 tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, dan Undang-undang No. 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD dan DPRD.

C. MOMENTUM 10 TAHUN REFORMASI

Sepuluh tahun sudah momentum reformasi yang ditandai dengan mundurnya Suharto dan kursi presiden setelah bentahta 1,5 tahun pada kurun Pelita yang ke-7 menurut tarikh kekuasaan yang dibuatnya sendiri, dan realitas kehidupan berbangsa dan bernegara tidak juga beranjak lebih maju. Pasca-gerakan reformasi 1998, kehidupan sosial—politik menjadi riuh-rendah dan gegap gempita. Namun demikian, kehidupan sektor riil tidak beranjak maju.
Demokratisasi yang berkembang dengan gegap gempita, barulah memberikan angin sejuk bagi kaum cendekiawan yang sejak lama bosan dengan system otoritarian gaya Suharto yang telah mangangkangi perekonomian nasional selama 32 tahun dengan model oligarkhi. Demokratisasi yang dikembangkan pasca-reformasi meliputi 2 matra; yakni matra demokrasi prosedural atau formal yang berupa Pemilu yang lebih bebas (tanpa kelibatan militer dalam eskalasi pemilihan, mulai penjaringan calon sampai penetapan bakal calon legislatif), dan demokrasi partisipatif yang diletakan di matra pengambilan kebjakan eksekutit memunculkan proses eksperimentasi demokrasi yang sungguh mengasyikan.

Era reformasi muncul sebagai gerakan korektif dan pelopor perubahan-perubahan mendasar di berbagai aspek kehidupan. Gerakan reformasi yang melahirkan proses perubahan dan melengserkan pemerintahan orde baru dan melahirkan UU No. 3 Tahun 1999 tentang partai politik memungkinkan sistem multi partai kembali bermunculan.
Harapan peran partai sebagai wadah penyalur aspirasi politik akan semakin baik, meskipun hingga saat ini belum menunjukkan kenyataan. Hal ini terlihat dari kampanye Pemilu yang masih diwarnai banyaknya partai politik yang tidak mengaktualisasikan aspirasi rakyat dalam wujud program partai yang akan diperjuangkan.
Mirip dengan fenomena lama dimana yang ada hanya janji dan slogan-slogan kepentingan politik sesaat. Meskipun rezim otoriter telah berakhir dan keran demokrasi telah dibuka secara luas sejalan dengan bergulirnya proses reformasi.
Perkembangan demokrasi belum terarah secara baik dan aspirasi masyarakat belum terpenuhi secara maksimal. Aspirasi rakyat belum tertangkap, terartikulasi, dan teragregasikan secara transparan dan konsisten. Distorsi atas aspirasi, kepentingan, dan kekuasaan rakyat masih sangat terasa dalam kehidupan politik, baik distorsi yang datangnya dari elit politik, penyelenggara negara, pemerintah, maupun kelompok-kelompok kepentingan.
Di lain pihak, institusi pemerintah dan negara tidak jarang berada pada posisi yang seolah tidak berdaya menghadapi kebebasan yang terkadang melebihi batas kepatutan dan bahkan muncul kecenderungan yang mengarah anarchis walaupun polanya tidak melembaga dan lebih banyak bersifat kontekstual.
Namun demikian, sudahkah hasilnya dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat?
Demokrasi prosedural kita, sedemikian rupa telah menjelma menjadi sebuah teladan demokrasi delegatif yang dikuasai sepenuhnya oleh individu-individu wakil rakyat yang kita pilih metalui proses Pemilihan Umum. Sedangkan selebihnya, tidak diatur dengan baik bagaimana kelibatan masyarakat dalam proses-proses yang dilalui para wakil rakyat ketika mengatur kehidupan berbangsa dan bernegara.
Para wakil rakyat setelah terpilih dan duduk di kursi parlemen, di berbagai tingkatan, cenderung memerankan dirinya sebagai delegasi rakyat; yang memiliki kewenangan penuh untuk menentukan dan membuat keputusan tanpa perlu mendengarkan dan belajar (apalagi meminta pendapat dan persetujuan) dan rakyat yang diwakilinya. Faktor kepentingan individu dan kepentingan kelompok lalu menjadi penggerak yang lebih dominan di ranah proses pengambilan keputusan yang bertujuan untuk menjamin hajat hidup rakyat. Terutama menyangkut perencanaan anggaran pendapatan dan belanja (APBN/APBD).
Lolosnya undang-undang penanaman modal merupakan contoh terburuk dan pengembangan konsensus suara terbanyak yang menghasilkan keputusan terburuk bagi republik ini.
Sementara para politisi lain dari Dewan Perwakilan Daerah terkesan kian sibuk dengan Inilah bentuk deligitimasi dan demoralisasi politik yang menimpa dunia parlemen di negeri ini. Cermin dari wakil rakyat yang telah hilang keabsahan moral dan perannya selaku wakil rakyat, selain sekadar formalitas. Mereka bukan wakil rakyat yang berbuat untuk rakyat, tetapi sekadar bekerja untuk dirinya dengan mengatasnamakan rakyat. Itulah bentuk dari apa yang dikatakan Prof Syafii Maarif sebagai elite yang menjadikan politik sebagai mata pencaharian.
Tengoklah perilaku Qarun dan Firaun di zaman Nabi Musa. Tindakan Qabil membunuh saudara sekandungnya, Habil. Perbuatan putra-putra Nabi Ya'kub ketika menyingkirkan saudara terkecilnya, Yusuf alaihissalam. Anak dan istri Nabi Nuh. Tak perlu memberi contoh Hitler, para pemimpin Israel, dan siapa pun yang sewenang-wenang serta gila dunia yang memang tampa bingkai agama dan moral. Bahkan orang-orang yang hidup di sekitar Nabiyullah saja, ketika dihinggapi penyakit rakus dan cinta dunia yang melampaui takaran, maka lahirlah perbuatan-perbuatan dan tindakan-tindakan yang israf alias berlebihan.
Selalu ingin lebih dan lebih. Karena itu Tuhan pernah mengingatkan sekaligus menyindir orang-orang rakus dalam al-Takatsur: bermegah-megahan telah melalaikan kamu, sampai kamu masuk ke liang kubur (QS. Al-Takatsur/102: 1-2). Di lain ayat Allah melukiskan, manusia itu memiliki sifat, ketika diberi nikmat sombong diri, manakala diberi musibah merasa dihinakan Tuhan. Tak pernah ada rasa syukur dan qonaah.
Kita sungguh tidak tahu persis. Apakah musibah demi musibah yang menimpa bangsa ini salah satu sebabnya karena banyak para elite atau pemimpinnya yang terkena penyakit rakus dan kemudian lupa mengurus rakyatnya. Apakah urusan demi urusan bangsa ini tak terselesaikan bahkan di sana sini kian ruwet karena para elite dan pemimpin yang semestinya berkhidmat untuk sebesar-besarnya mengurus kepentingan bangsa dan negara, malah sibuk mengurus diri dan kelompoknya? Bahkan lebih jauh lagi, apakah semua krisis itu kian tak memperoleh pemecahan dan datang masalah-masalah baru karena di antara para pemangku kuasa di pemerintahan semakin banyak yang bukan saja melalaikan amanat rakyat, bahkan berbuat fasad (kerusakan) di muka bumi Nusantara tercinta ini.
Tak ada salahnya untuk berkaca diri. Nabi pernah bersabda, "barangsiapa pemimpin yang mengabaikan urusan umatnya, maka tunggulah kehancurannya, dan tiada tempat bagi mereka kecuali neraka jahanam". Allah bahkan berfirman: "Dan jika Kami hendak membinasakan suatu negeri, maka Kami perintahkan kepada orang-orang yang hidup mewah di negeri itu (supaya mentaati Allah) tetapi mereka melakukan kedurhakaan dalam negeri itu, maka sudah sepantasnya berlaku terhadapnya perkataan (ketentuan Kami), kemudian Kami hancurkan negeri itu sehancur-hancurnya." (QS. Al-Isra/17: 16). Bangsa dan negara hancur karena semakin banyak orang yang hidup bermewah-mewahan (al-mutrafun), sedangkan para pemimpinnya mengabaikan urusan rakyat yang dipimpinnya.

D. KESIMPULAN

Di samping keberhasilan yang telah dicapai pada masa lalu, harus diakui pula masih banyak pekerjaan rumah yang belum sempat terselesaikan terutama tercermin pada belum ptimalnya peran partai politik dalam peningkatan partisipasi politik masyarakat khususnya peran sebagai wadah penyalur aspirasi politik, sarana sosialisasi politik, sarana rekrutmen, dan sarana pengatur konflik, dan hal tersebut telah sedikit banyak telah bisa terealisasikan di era reformasi yang dimuai sejak gerakan reformasi di tahun 1998.
Dalam rangka untuk mengoptimalkan peran partai politik tersebut telah disampaikan konsepsi penguatan peran partai politik dalam peningkatan partisipasi politik masyarakat, ntara lain melalui pembangunan sistem kehidupan yang demokratis dan stabil yang dijabarkan dalam strategi pengembangan partisipasi politik masyarakat dan pembenahan mekanisme hubungan antar komponen dalam sistem politik; dan dalam implementasinya diwujudkan dalam bentuk upaya restrukturisasi, refungsionalisasi, dan revitalisasi partai politik dan berbagai aspek yang terkait.
Untuk menjamin berjalannya peran partai politik dalam peningkatan partisipasi politik masyarakat secara optimal, diperlukan keselarasan dan keseimbangan hubungan antar kekuatan sosial politik dan keseimbangan serta keselarasan peran partai politik itu sendiri baik sebagai wadah penyalur aspirasi rakyat, sarana sosialisasi politik, sarana rekrutmen politik, maupun sebagai sarana pengatur konflik. Hal yang terakhir ini perlu digaris bawahi karena keempat peran tersebut pada hakikatnya saling terkait dan bersifat saling mendukung satu dengan yang lain.























DAFTAR PUSTAKA

1. Adam E Everett and Ronald J.E. Bert, dari “ Production & Operation Management” Halaman 215, Prentice Inc, Englewood, 1986
2. Anne Booth:2001, Pembangunan: Keberhasilan dan Kekurangan, dalam Donald K. Emerson, Indonesia Beyond Soeharto: Negara, Ekonomi, Masyarakat, Transisi, Gramedia Pustaka Utama, h. 191.
3. Ghufran, M. Kordi K, 2007. Ironi Pembangunan (Beberapa Catatan Kritis dan Refleksi). Jakarta Timur: PT Perca
4. Haedar Nashir, Pornoaksi, Harian Umum Republika, 26 Februari 2007.
5. Loekman Soetrisno: 1997, Beberapa Faktor Dalam dan Luar Negeri yang Berpengaruh pada kelestarian Pembangunan di Indonesia, dalam Loekman Soetrisno,Demokratisasi Ekonomi & Pertumbuhan Politik, Penerbit Kanisius, h. 172.
6. Salman Luthan dan Agus Triyanta Agar Negara tidak Menjadi Perampok Terorganisasi (Jawa Pos, Januari 2008)


Daftar Internet

1. WWW.mas’admasrur.Com, Peran Partai Politik, Diakses 29 September 2009, 13.34 WIB.
2. Wakil Rakyat Atau Wakil Kepentingan Partai, www.tranparansi.or.id , aksesn 25 September 2009, 13.33 WIB

Tidak ada komentar: